Sepulang kajian, Farah dan Maya dibuat kalang kabut karena tidak melihat adanya Adel di dalam kamar asrama. Keduanya berusaha mencari gadis itu di seluruh sudut pesantren bahkan kamar mandi sekali pun. Namun, hasilnya tetap nihil. Gadis itu tidak ditemukan.
Kembali ke kamar, Farah dan Maya mengecek lemari Adel yang tidak terkunci. Keadaan darurat membuat Farah dengan terpaksa membuka lemari milik temannya itu. Semua pakaian masih utuh, tapi tidak dengan dompet yang biasanya ia lihat ketika Adel meninggalkannya di salah satu bagian tengah lemari tersebut. Benda itu tidak ada di sana dan salah satu tas milik Adel pun menghilang dari tempatnya.
Farah dan Maya, sesaat keduanya saling bertukar pandang seakan memiliki pemikiran yang sama.
"Adel kabur?" tanya Farah dengan lirih.
Maya menggeleng pelan seraya menatap lemari yang masih terbuka. "Nggak mungkin, kan?"
"Sepertinya ini mungkin. Dia nggak akan bawa dompet kalau hanya sekedar ke kantin," balas Farah, mengingat gadis itu tidak pernah membawa dompetnya kemanapun pergi selagi itu masih di dalam lingkungan pesantren. Berbeda hal jika izin keluar.
"Atau mungkin izin keluar?" tanya Maya menerka-nerka. "Tapi nggak mungkin izin keluar di saat kegiatan pesantren berlangsung."
"Kamu benar." Farah mengangguk menanggapi ucapan Maya. "Itu artinya dia beneran kabur, May."
"Astaghfirullah," lirih Maya seraya menatap Farah. "Pasti dia terguncang dengan kabar itu, Far. Gimana enggak? Semua orang terus menerus memojokkan Adel tanpa jeda. Kita udah berusaha buat melerai semua itu tapi tetap nggak di dengar sama mereka."
"Itulah manusia, May." Farah menjeda ucapannya. "Mereka belajar hablumminallah (hubungan baik manusia dengan Allah) tapi justru mereka melupakan hablumminannas (hubungan baik antara manusia dengan manusia). Sepertinya mereka lupa kalau berurusan dengan manusia hisabnya sangatlah berat. Kalau tidak tuntas di dunia, akan ditagih kelak di akhirat."
"Hem, mereka seakan lupa di mana mereka saat ini. Padahal tugas kita di sini hanya belajar, bukan membuka aib orang lain apalagi membicarakannya," balas Maya, lagi.
"Kita harus gimana sekarang?" Farah menutup lemari milik Adel seperti sebelumnya. "Apa kita lapor aja?"
"Jangan dulu. Siapa tau Adel cuma kabur di sekitaran sini dan balik lagi kayak biasa."
"Itu kalau biasanya. Tapi kalau enggak, gimana?" Di tengah ruangan yang sepi, keduanya bingung langkah mana yang harus mereka ambil.
Sementara itu, gadis yang tengah dibicarakan tengah duduk di bangku kereta menuju tempat tinggalnya, Jakarta. Sekelebat memori masa lalu hadir membuat ia kembali merasa takut. Bahkan, sampai detik ini cibiran demi cibiran kembali ia dapatkan hingga ia memilih untuk kabur dari pesantren.
"Jalan yang gue ambil bener, kan?" lirih Adel seraya mengingat semua tentang pesantren, lamanya tinggal di sana membuatnya berat meninggalkan tempat suci tersebut, apalagi ketika bayangan Kafka turut hadir menemani.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA KIBLAT
Novela Juvenil📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat. *** Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung ja...