Bab 58 : Berebut Cokelat.

19.7K 2.3K 264
                                    

Setelah mendapat apa yang menjadi tujuan, Kafka tak lupa mengucapkan terima kasih pada Pak Rahmat yang sudah mau direpotkan di luar jam kerjanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah mendapat apa yang menjadi tujuan, Kafka tak lupa mengucapkan terima kasih pada Pak Rahmat yang sudah mau direpotkan di luar jam kerjanya. Gus muda itu tak lupa memberi lebih banyak dari harga yang tertera.

"Ya Allah, banyak sekali ini, Le," ujar Pak Rahmat pada Kafka setelah menghitung jumlah uang ratusan ribu tersebut.

"Betul apa kata bapak, ini terlalu banyak," timpal Bu Warni.

"Anggap saja sebagai uang terima kasih saya karena sudah merepotkan malam-malam seperti ini, Pak, Bu."

Meski awalnya menolak, pada akhirnya sepasang suami istri itu menerima pemberian lebih dari Kafka dan tak lupa juga mengucapkan terima kasih.

"Kami doakan semoga dilancarkan sampai persalinan nanti," ujar Bu Warni.

"Aamiin, allahumma aamiin. Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih dan maaf sudah merepotkan."

Tak lama kemudian setelah berpamitan, Kafka kembali berjalan menuju mobil yang sebelumnya terparkir.

"Tumben kamu diam dari tadi," ujar Kafka pada Ali di sela langkah.

"Cewek yang tadi cantik, Gus," balas Ali yang sedari tadi memikirkan anak dari Pak Rahmat.

"Istighfar, Ali, istighfar."

Hampir saja peci Kafka kembali melayang kalau saja Ali tidak menahannya.

"Hehe! Tadi nggak sengaja, Gus. Kan, Gusnya juga nggak mau ngomong tadi. Makanya saya wakilkan."

"Mau sudah menikah atau pun belum, kewajiban seorang laki-laki adalah menundukkan pandangan pada yang bukan mahram. Karena setan bisa masuk melalui jalur mana saja, termasuk lewat tatapan yang terus kamu bayangkan itu. Bukankah berujung pada zina mata dan pikiran?"

Bibir Ali terkatup, tak mampu menyanggah ucapan Kafka yang mana merupakan kebenarannya.

"Siap salah, Gus," kata Ali sebelum akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dan kembali ke pesantren.

***

Masuk ke ndalem, Kafka dikejutkan dengan suara tangisan Zayn yang melengking keras. Segera, ia melangkah menuju asal suara.

Sementara itu di ruang keluarga, Umma tengah berusaha menenangkan Zayn agar tangis cucunya mereda. Sedang, Adel tampak tenang seraya memakan sebuah cokelat yang merupakan milik Zayn sebelumnya.

"Umma, ada apa? Zayn kenapa nangis?" tanya Kafka pada Umma. Mengingat Zayn jarang sekali menangis membuat Kafka menebak-nebak apa yang terjadi. Sedetik kemudian tatapannya tertuju pada sang istri yang berada di pojok ruangan.

"Dek, kamu ngapain di bawah sana?"

Adel yang baru menyadari kehadiran Kafka itu mendongak menatap lelaki itu. Ada sebuah binar di matanya saat melihat sebuah kantong yang Kafka bawa.

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang