Bab 3 : Getaran Hati.

70.4K 4.9K 191
                                    

Setiap hari berlalu begitu cepat, beberapa minggu bahkan tahun berlalu begitu saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setiap hari berlalu begitu cepat, beberapa minggu bahkan tahun berlalu begitu saja. Jumlah santri Pesantren Nurul Mahabbah bertambah banyak begitu juga dengan dewan pengajar, salah satunya adalah Gus Zaki. Gus yang dikenal dengan bicaranya yang to the point, ia juga merupakan kakak sepupu dari Ayra yang ditugaskan oleh Kiai Hussein untuk membantu Abah Umar dalam mengemban tugas selain putra bungsunya, Kafka.

Kafka telah memenuhi amanah sang kakak dalam mengabdikan dirinya untuk pesantren. Tugas yang ia emban berjalan dengan baik tapi tidak dengan hari-harinya, dimana kesabarannya harus diuji oleh seorang santriwati yang selalu mendebatnya dalam segala hal, seperti sekarang ini.

"Mau nanya apa lagi, Mbak?" Kafka melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. "Saya kasih waktu tiga menit."

"Mau kemana, Gus?"
"Dua menit, langsung saja ke inti, Mbak Dedel."

Adel berdecak.
"Iya,iya, Gus. Nggak sabaran banget."
"Saya orangnya sabar loh, Mbak. Kalau sama Mbak Dedel aja saya jadi orang yang nggak sabaran."

Adel tersenyum menanggapi ucapan Kafka.
"Itu artinya saya spesial, kan, Gus?"

Kafka menghela napas panjang, setelahnya ia kembali embuskan perlahan.
"Sepertinya, lebih spesial martabak daripada Mbaknya."

"Sedih, tapi nggak papa," ujar Adel seraya menautkan jari jemarinya, seakan ragu mengatakan sesuatu. "Gus," panggil Adel.

"Hm." Kafka hanya membalas dengan deheman.

"Dalem, gitu loh, Gus," komentar Adel.

"Mbak?" panggil Kafka dengan nada rendah, ia menatap Adel sekilas seraya memaksakan senyumnya, sedetik kemudian ia kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Ya, Gus?" balas santriwati itu, tak khayal ikut tersenyum.
"Bisa tolong berhenti mendebat setiap ucapan saya, tidak?"
"Sepertinya tidak, karena itu hobi baru saya, Gus."
"Saya bukan mahram Mbak nya, jadi lebih baik berbicara seadanya, tidak dilebih-lebihkan karena itu akan menimbulkan fitnah."
"Kalau gitu halalin saya dong, Gus."
"Astaghfirullah. Istighfar, Mbak, istighfar."
"Astaghfirullahal adzim." Adel menuruti ucapan Kafka. "Sudah, Gus."

"Benar, tapi salah," ujar Kafka, ia meninggalkan Adel begitu saja di depan ndalem.

Adel menggaruk keningnya yang tidak gatal.
"Kalimat istighfar, kan, memang seperti itu. Dimana letak kesalahannya?"

"Di dalam hatimu sendiri," ujar seseorang yang tiba-tiba keluar dari ndalem.

"Eh?" Adel menoleh begitu terkejutnya melihat seseorang yang sudah lebih dari satu tahun itu mengabdi di pesantren ini.

"Kejarlah pencipta-Nya, bukan ciptaan-Nya. Dari awal hatimu sendiri sudah salah dalam mengartikan sesuatu atas nama cinta."

Ayra mengernyitkan dahinya.
"Salah gimana, Gus?"

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang