Bab 23 : Surat Peringatan II

40.2K 4.7K 2.3K
                                    

Berbeda dengan ruangan yang sedang panas, kini Arzan sudah memasuki kawasan pesantren tempat sang adik menuntut ilmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berbeda dengan ruangan yang sedang panas, kini Arzan sudah memasuki kawasan pesantren tempat sang adik menuntut ilmu. Entah kenapa perasaannya mendadak tidak tenang, namun ia berusaha untuk menepis rasa yang ada saat ini.

Setelah turun dari kendaraan beroda empat yang ia pesan secara online, lelaki itu mulai melangkah memasuki gerbang pesantren. Bisa ia lihat bangunan bertingkat yang berjejer rapi, ditambah lapangan utama berada di samping salah satu bangunan tersebut.

Gaya casual lelaki itu membuat beberapa pasang mata santri menatapnya, Arzan acuh karena saat ini tujuannya adalah bertemu sang adik.

Melangkah lebar menuju asrama putri, pikirannya tertuju kepada siapa ia harus meminta tolong untuk memanggilkan gadis itu yang ia pikir masih berada di asrama. Seketika ia mengingat nomor Kafka yang kemarin lalu ia simpan di dalam ponsel. Lelaki itu berniat menghubungi Kafka untuk membantunya bertemu dengan sang adik.

Dengan membawa lima batang cokelat yang baru saja lelaki itu beli di supermarket luar, Arzan mulai menekan nama Kafka di kontaknya. Sayang seribu sayang, nomor itu terhubung tetapi tidak terjawab oleh si pemilik. Ia yakin Kafka sedang sibuk saat ini.

***

Amel membeku di tempat kala mendapat panggilan dari salah satu ustadzah untuk menghadap Kafka.

"Kamu dengar, kan? Kamu ditunggu sekarang juga di ruangan beliau." suara Ustadzah Najwa kembali terdengar, membuat Amel terkesiap.

"Memangnya ada apa, ya, Ustadzah, saya dipanggil?" tanya Amel hati-hati.

"Seharusnya kamu yang jauh lebih tau alasan apa beliau memanggil kamu," jeda tiga detik, "sudah, lebih baik kamu ke sana sekarang daripada buang-buang waktu." setelah mengatakan itu, Ustadzah Najwa memutar langkah keluar dari kamar tersebut menuju kembali ke kantor pondok putri.

Sedang, Amel masih berdiri di tempat, ia tak menduga bahwa akhirnya akan seperti ini.

"Ada apa?" tanya Arini yang baru saja masuk kamar dan tak sengaja melihat Amel tengah melamun.

"Gue dapat panggilan disuruh menghadap Gus Kafka," cicit Amel seraya menatap teman satu kamarnya satu persatu. "Kayaknya masalah cewek kamar satu itu. Gue harus gimana?"

Sabina, gadis bercadar yang berada di atas tempat tidurnya itu menyahut. "Ya, nggak gimana-gimana. Itu, kan, perbuatan kamu sendiri. Jadi, ya, silakan kamu pertanggung jawabkan."

Mendengar itu, Amel menatap gadis bercadar itu dengan kesal. "Tapi gue nggak sendiri, yang lain juga, kan, ikutan. Ini nggak adil!" balasnya, kemudian menatap Arini lagi. "Lo juga ikut-ikutan kemarin, kan, ngebully tuh cewek? Kenapa cuma gue yang dipanggil?" kesal Amel.

Arini mengangkat bahu acuh. "Mana aku tau. Ya, udah, sih, Mel, itu kan kamu duluan yang mulai dan ngomporin kita semua. Gara-gara kamu juga cerita itu meluas dari ujung depan asmara sampai ke ujung belakang."

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang