Sampai di rumah, mereka disambut oleh Akbar dan Amira dengan tatapan penuh khawatir. Apalagi ketika sang putri tak sadarkan diri di dalam dekapan Arzan. Tanpa basa-basi, kedua paruh baya itu meminta putranya untuk membawa gadis itu ke kamar.
Amira menyusul langkah sang putra. Sedang, Akbar mengajak Kafka untuk masuk dan duduk di ruang tamu.
Kafka mengamati sekitar, ruang tamu yang didesain sangat elegan dengan beberapa hiasan dinding yang menempel di berbagai sudut. Ditambah rangkaian demi rangkaian foto keluarga yang berada di sana.
"Nak Kafka, silakan duduk," ujar Akbar seraya tersenyum ramah, meski demikian, Kafka tau jika ada perasaan khawatir yang pria itu tutupi rapat-rapat mengenai keadaan putrinya.
Kafka membalas senyuman itu. "Enggih, Pak, terima kasih," katanya, lalu duduk di salah satu sofa yang ada di sana. Pun dengan Akbar yang turut duduk di depan Kafka.
"Jangan sungkan, saya yang harusnya ucapin banyak terima kasih karena Nak Kafka udah repot-repot datang jauh-jauh ke sini."
Kafka meletakkan tas yang ia bawa di sampingnya sebelum akhirnya kembali berbincang dengan Akbar. "Saya yang harusnya minta maaf karena hal seperti ini nggak seharusnya terjadi, Pak Akbar. Maaf, karena ini di luar sepengetahuan saya."
Akbar kembali tersenyum, lelaki di hadapannya ini sangat ramah dan sopan. Sangat cocok dengan parasnya yang tampan. Pantas saja jika putrinya itu mengejarnya secara ugal-ugalan, pikirnya.
"Jangan panggil Pak, panggil Om aja, ya," pinta Akbar.
Kafka mengangguk kecil. "Baik, Om."
Tak lama, seorang wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di sana datang dengan membawa dua cangkir teh hangat beserta camilan lainnya. Sesaat, Kafka menganggukkan kepala tanda terima kasih karena merasa telah merepotkan.
"Silakan diminum, Den," kata Bibi.
Bibir Kafka melekung ke atas menanggapi itu. "Terima kasih, Bi, maaf sudah merepotkan."
"Nggak atuh, Den, ini mah udah jadi tugas Bibi, jadi jangan sungkan. Den ini, kan, calon mantunya Pak Akbar, anggap aja ini sebagai perkenalan."
Akbar terkejut mendengar celetukan Bi Inem, berbeda dengan Kafka yang lagi-lagi tersenyum tipis.
"Nama saya Inem, panggil aja Bi Inem, ya, Den."
"Ah, iya, nama saya Kafka, Bi," sahut Kafka seraya mengatupkan kedua tangannya ke depan dada.
"Namanya ganteng, sama seperti orangnya." Bi Inem terkekeh, membuat Kafka ikut tertawa pelan. Gus muda itu merasa tergelitik melihat Bi Inem yang sangat mudah berbaur dengan orang baru.
"Hadza min fadli rabbi, Bi," balas Kafka.
Suara Akbar terdengar menimpali "Awas, nanti Bibi suka lagi sama Nak Kafka."
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA KIBLAT
Ficção Adolescente📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat. *** Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung ja...