Bab 11 : Nasehat Ibu.

40.8K 3.5K 397
                                    

Sosok dengan rahang tegas, hidung mancung dengan tinggi badan semampai itu berhasil menarik perhatian Arzan dan juga Akbar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sosok dengan rahang tegas, hidung mancung dengan tinggi badan semampai itu berhasil menarik perhatian Arzan dan juga Akbar. Ditambah proporsi wajah tampan lelaki itu membuat Arzan yakin jika yang ada di hadapannya saat ini bukanlah santri biasa. Tapi, tunggu! Bukankah lelaki ini adalah orang yang melihat dirinya saat bersama sang adik sebelum masuk ke aula?

Kafka tersenyum tipis menanggapi raut kebingungan dua orang dengan perbedaan usia itu, sebelumnya ia hendak mengajak keduanya berpindah tempat ke ndalem atas perintah sang ayah yang sedang mengajar di dalam masjid. Namun, secara tak sengaja ia justru mendengar obrolan yang membuatnya langsung menimpali tanpa berpikir panjang.

"Sebelumnya saya minta maaf karena telah lancang menganggu obrolan antuma sekalian sampai saya lupa mengucap salam," ujar Kafka, setelahnya tak lupa mengucap salam yang kemudian dijawab serentak oleh Akbar dan Arzan.

"Tidak apa, karena sepertinya kami yang terlalu berisik di sini, maaf ya, Nak," balas Akbar tak enak hati.

Kafka tersenyum.
"Nggak usah sungkan, Pak. Tujuan saya ke sini untuk mengajak bapak dan masnya ke ndalem karena maaf, kebetulan ini adalah perintah dari Abah saya yang sedang mengajar di dalam," tutur Kafka dengan lembut.

Semua sisi masjid menggunakan pintu dari kaca yang itu artinya semua santri bisa melihat bagian luar masjid hanya dari dalam. Abah tidak mau konsentrasi semua santri beralih ke arah lain tanpa fokus pada apa yang sedang disampaikan. Itulah kenapa pada saat Abah mengajar, semua santri akan diam dan tidak ada yang berani berbicara atau melewati sekitar masjid sedetikpun. Karena menurut Abah Umar sendiri, itu adalah salah satu adab belajar yaitu menjaga ketenangan.

Diam-diam Arzan mencuri pandang ke arah Kafka, berbagai pertanyaan hadir begitu saja dalam benaknya. Ndalem? Tentu ia tau apa itu ndalem, karena sebelumnya ia pernah berada di pesantren meski gugur. Tempat itu adalah kediaman Kiai pemilik pesantren yang itu artinya apakah lelaki yang ada di hadapannya saat ini adalah anak dari pemilik pesantren? Terlebih ia dengan jelas mendengar kalimat Abah Saya pada ucapan Kafka tadi. Pikirannya menerawang jauh, ia teringat dengan ucapan sang adik tentang anak dari pemilik pesantren, apakah lelaki ini orangnya? Ah, ia lupa untuk menanyakan siapa namanya pada Adel.

"Siapa nama lo?" ujar Arzan tiba-tiba yang dihadiahi cubitan maut dari Akbar.

"Bicara pakai bahasa yang sopan!" Rasanya Akbar ingin meraup wajah putranya saat ini, mau bagaimanapun ia tau bahwa Kafka adalah anak dari pemilik pesantren, hal itu bisa ia simpulkan dari kata-kata Kafka barusan.

Arzan mendengus, belum apa-apa ia sudah dianak tirikan. "Sorry," ujar Arzan, ia mengganti bahasanya. "Namanya siapa, Dek?"

Lagi, Akbar memejamkan matanya mendengar itu. Dek? Entahlah, biarkan apa mau Arzan, setidaknya itu jauh lebih baik daripada kata lo atau gue.

Kafka tersenyum kikuk, baru pertama kali ia dipanggil dengan panggilan seperti itu. Tapi, ia juga tidak mempermasalahkan karena ingin menghormati lawan bicaranya. Segera, ia mengulurkan sebelah tangannya. "Kafka, Mas."

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang