Bab 16 : Hukum Cinta.

42.4K 4.7K 2.5K
                                    

Mentari tenggelam, sunyi menyapa perlahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mentari tenggelam, sunyi menyapa perlahan. Kini, tepat di sepertiga malam, seseorang dengan wajah penuh dosa menengadah meminta petunjuk hati kepada sang pemilik takdir. Kafka, lelaki itu sangat khusyuk menjalankan ibadahnya, berharap mendapat jawaban atas keraguan hati yang selama ini ia rasakan.

"Ya Allah, aku hambamu yang cacat akan iman, besar oleh hawa napsu, namun sangat menginginkan segala karunia-Mu. Untuk itu, berilah aku petunjuk atas keraguan yang tertanam, berikanlah jalan untuk segala apapun yang Engkau ridhai kepada siapapun itu." Di ujung sajadah, lelaki itu berbisik merayu sang tuhan.

***

Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, semua santri beramai-ramai mengantri untuk mengambil sarapan seperti biasanya.

Seperti pada umumnya pesantren, tradisi mengantri adalah hal yang sangat lumrah. Dari sana mereka dapat belajar apa itu arti sabar untuk mendapat sesuatu yang mereka inginkan. Jika kesabaran sudah tertanam di hati mereka entah itu sekecil apapun, tentu akan mudah bagi mereka juga untuk menghadapi alur kehidupan setelahnya, karena segala apapun pasti harus ada kata sabar yang membersamai.

"Bau-bau caper, nih!" sindir Amel pada Adel yang tengah mengantri di bagian paling depan. "Pakai pelet kali, ya? Bisa-bisanya kajian private sama Gus sendiri."

Entah berita dari mana, tapi kabar itu secepat angin menyebar hingga ke seluruh sudut pesantren. Adel memilih diam, ia tidak mau terpancing emosi di depan rezeki.

"Ini, Mbak." Adel dengan cepat mengambil kotak bekal miliknya yang sudah diisi oleh petugas kantin, gadis itu ingin secepatnya pergi dari sana sebelum keributan kembali terjadi. Namun sayangnya, gerakan itu kalah cepat dengan kaki Amel yang dengan sengaja menyambar sebelah kakinya hingga terjatuh, beserta makanannya.

"Shit!" umpat Adel, mati-matian ia belajar sabar tapi justru kesabarannya diusik oleh Mak Lampir. "Makanan gue," lirihnya seraya menatap makanan yang jatuh berserakan.

Gadis itu berdiri seraya menatap Amel dengan napas yang memburu. "Maksud lo apa, hah?!"

"Nggak sengaja, Elah!"

Adel yang pada dasarnya hanya memiliki kesabaran setipis tisu dibagi sepuluh itu tentu tak terima dengan jawaban Amel, gadis itu menatap Amel tajam sebelum akhirnya menjambak rambut orang yang sudah berani mengusik makanannya.

"Lepas!" Amel memberontak merasakan rambutnya yang hampir copot dari kepalanya.

"Ternyata bukan cuma tangan Ning Ayra aja yang gatel jambak rambut lo, tapi gue juga!" Adel dengan sepenuh tenaga menarik rambut itu dengan sangat keras. Sedang, Amel tak tinggal diam, kedua tangannya turut menjambak rambut gadis itu dengan kekuatan sama penuh.

Semua itu tidak terlepas dari semua pasang mata yang turut mengantri, namun tidak berani memisahkan. Kedua gadis itu merupakan senior di pesantren dan sudah terkenal akan kenakalannya, jadi mereka hanya membiarkan hal itu terjadi. Sudah biasa, kata mereka.

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang