"Total jadi berapa?" tanya Arzan pada kasir minimarket yang merupakan salah satu santri putra. Sebelumnya, ia telah memilih beberapa snack dan salah satunya adalah cokelat sepuluh bungkus memenuhi permintaan sang adik.
"Totalnya lima ratus dua puluh lima ribu rupiah, Mas," balas Kasir seraya memasukkan satu persatu barang belanjaan itu pada kantong plastik.
"Sebentar," kata Arzan, hendak mengambil uang yang ada di dalam dompetnya. Sayangnya, Kafka yang berada di sampingnya lebih dulu memberikan enam lembar uang berwarna merah pada kasir, membuat tangan Arzan terhenti seketika.
"Loh? Nggak usah, Ka, saya bawa uang, kok."
"Nggak papa, Bang, sekalian sama punya saya." Kafka tersenyum, kemudian mengalihkan tatapannya pada kasir. "Hitung sekalian dengan punya saya."
"Baik, Gus."
Pembayaran selesai, keluar dari minimarket, Arzan merasa tak enak hati dengan perlakuan Kafka untuknya.
"Saya jadi nggak enak ini, Ka, belanjaan saya sama kamu aja banyakan punya saya, tapi justru kamu yang bayarin," ujar Arzan, mengingat yang Kafka beli hanyalah satu buah cokelat.
"Enakin aja, Bang," balas Kafka santai, bukan perkara sulit ia mendapatkan uang, selain mengajar di pesantren, Gus muda itu juga sering membawa acara di masjid lain sebagai penceramah atau juga sebagai MC di acara formal lainnya.
"Alhamdulillah, beban gue sebentar lagi pindah haluan," batin Arzan bersorak senang.
Keduanya terus berbincang disela langkahnya hingga tak terasa kini sudah sampai di depan asrama putra yang bernama "Al-Hasan". Asrama dengan tiga tingkat itu terlihat sangat bersih, membuat nyaman sejauh mata memandang, pun dengan kondisi asrama yang sangat tenang, karena malam setelah kajian madin, semua santri pasti akan fokus belajar di teras kamar masing-masing.
Begitu Kafka masuk, para santri menunduk sebagai rasa hormat kepada anak pemilik pesantren. Sedang, Arzan yang berjalan di samping Kafka, hatinya ikut berbunga karena baru kali ini ia merasa sangat dihormati.
Mereka berjalan menuju kantor pondok putra. Di sepanjang jalan, Kafka menjelaskan detail ruangan yang mereka lewati tanpa terlewat sedikitpun. Bersyukurnya Arzan dapat mengingat itu semua dalam waktu singkat. Menurut Arzan, pesantren ini jauh lebih rapi dibanding pesantren yang dulu ia tempati dan ia yakin peraturan di sini pasti jauh lebih ketat. Huh! Lelaki itu tidak bisa membayangkan jika dulu ialah yang berada di sini, sudah dipastikan tidak dapat melarikan diri.
Sesampainya di depan kantor pondok putra, mereka berhenti. Arzan memilih duduk di kursi yang berada di sana, merasa sangat lelah karena berjalan terlalu jauh, belum lagi kantor pondok ini terletak di lantai dua asrama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA KIBLAT
Fiksi Remaja📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat. *** Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung ja...