"Tadi sebelum berangkat udah sarapan belum?"
Setelah membaringkan tubuh Adel di atas tempat tidur, Kafka kembali bertanya seraya mengusap puncak kepala sang istri dengan pelan.
Adel menggeleng pelan menanggapi itu. "Aku nggak nafsu makan, Mas. Kemarin Umma bawakan bubur aja perut aku nolak."
"Terus kenapa kemarin nggak mau diperiksa? Kata Umma kamu kekeuh nggak mau."
"Aku nggak mau minum obat, Mas, capek minum obat mulu. Lagipula juga sebentar lagi sembuh. Kan, udah ada kamu di sini. Mungkin itu hanya efek kangen, hehe!" balas Adel dengan cengiran khasnya.
Kedua sudut bibir Kafka tertarik ke atas membentuk lengkungan senyum, ia sengaja tidak memberitahu perempuan itu tentang kehamilannya sebelum memastikan di dokter kandungan nanti.
"Ya, udah. Sekarang kamu tunggu di sini. Kamu mau makan apa? Biar Mas masakin," tawar Kafka.
"Tapi aku nggak mau makan, Mas, nanti mual lagi," keluh Adel, mengingat dua hari belakangan perutnya terus merasa bergejolak dan tenaganya pun terkuras habis.
"Nanti Mas suapin biar nggak mual lagi. Oke?" Kafka berusaha membujuk sang istri untuk makan. "Nasi goreng, mau?"
Adel mencebik sesaat.
"Ya, udah, mau.""Mas ke belakang dulu."
"Jangan lama-lama," balas Adel yang seakan tidak ingin berjauhan dengan Kafka.
"Iya, Sayang." Kafka menyempatkan mencium kening sang istri sebelum akhirnya beranjak dari sana menuju dapur.
Tak lama setelah Kafka ke luar kamar, perut Adel kembali berulah. Segera, perempuan itu melangkah lebar menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya di sana. Tidak ada apapun yang keluar kecuali cairan bening.
"Kenapa mual terus?" lirih Adel, merasa lelah selama beberapa hari ini karena perutnya terus bermasalah.
Setelah membasuh bersih mulutnya, perempuan itu ke luar kamar mandi. Ia ingin menemui Kafka karena hanya dengan lelaki itu ia tak lagi merasakan sakit.
Sementara itu dapur, Kafka yang baru saja memasukkan nasi ke dalam penggorengan terkejut saat tanpa aba-aba seseorang memeluknya dari belakang. Lelaki itu lebih dulu mematikan kompor sebelum akhirnya menoleh pada sang istri.
"Sayang, kenapa?" tanya Kafka seraya memutar tubuh menghadap Adel. Ia mengangkat wajah perempuan itu untuk menatapnya. "Kenapa nangis?"
"Capek mual-mual terus." Bibir Adel bergetar menahan tangis.
Kedua tangan Kafka mengusap sudut mata Adel yang basah. "Tadi mual lagi?" Lelaki itu menatap tak tega pada sang istri yang sepertinya mengalami morning sickness. Andai ia bisa menggantikan, biarlah dirinya saja yang merasakan itu semua.
Kepala Adel mendongak menatap Kafka dengan kedua tangan yang memeluk lelaki itu. "Iya. Boleh nggak aku di sini bantuin Mas masak?"
"Bentar lagi selesai, Dek. Kamu tunggu di ruang makan aja, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA KIBLAT
Novela Juvenil📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat. *** Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung ja...