Bab 1 : Suami Idaman.

119K 6.1K 305
                                    

Pagi hari di sudut pesantren yang sepi, terdapat seorang gadis yang tengah duduk seraya membaca Al-Qur'an di tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari di sudut pesantren yang sepi, terdapat seorang gadis yang tengah duduk seraya membaca Al-Qur'an di tangannya. Melafalkan ayat demi ayat hingga bacaan itu sempurna, hingga tatapan matanya tak sengaja terkunci dengan arti salah satu ayat yang merupakan janji Allah akan surga.

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran : 133)

Adel Dwi Arfani, gadis itu terlihat memikirkan bagaimana nikmatnya surga yang telah Allah janjikan untuk hambanya yang bertakwa.

"Surga, ya?" gumam Adel, ia menjeda ucapannya.
"Nikmat yang bagaimana? kayaknya hidup gue masih jauh dari kata baik,"

"Jika kapal membutuhkan nahkoda untuk berlayar, maka surga membutuhkan imam yang baik untuk membimbing. Lagipula, mengejar surga sendirian itu berat, pasti akan lebih ringan dengan hadirnya sosok imam hidup yang baik untuk bisa berlayar ke sana." Lagi, Adel berbicara pada dirinya sendiri.

"Tapi imam yang baik itu bagaimana?" Adel terdiam membayangkan imam yang baik untuk hidupnya, kepalanya menggeleng pelan begitu yang ia ingat adalah Kafka, seseorang yang menurutnya sangat menyebalkan dalam hidupnya.

"Kenapa harus Gus nyebelin itu yang muncul?" kesal Adel, sedetik kemudian telinganya terasa gatal.

"Hm kayaknya ada yang ngomongin gue," 

Adel berdecak kesal.
"Gue tahu siapa pelakunya, ck gak di sini gak dimana-mana hobi banget ngomongin orang."

"Gus Agus, dasar Gus nyebelin!" Adel menutup mushafnya, tak mau memikirkan hal lebih, ia beranjak dari tempatnya menuju masjid untuk menyetorkan hafalannya.

Pesantren terasa sangat sepi tanpa hadirnya sang pemilik yang tengah berkunjung ke Jakarta untuk menemui putra sulung dan juga istrinya. Sesampainya di depan masjid, Adel yang hendak masuk ia urungkan begitu matanya tak sengaja melihat beberapa santri putra yang tengah berjalan melewati masjid menuju ndalem dengan membawa beberapa kitab ditangannya.

"Pesona santri emang gak ada obeng," Adel berdecak kagum, melihat cogannya Pesantren Nurul Mahabbah. Terlebih pesona santri yang memakai peci di keatasin hingga terlihat ujung rambutnya itu.

Namun, tatapan itu tidak bertahan lama ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang.

"Istighfar, Neng. Istighfar," Farah menggelengkan kepalanya melihat kelakuan temannya yang belum berubah itu.

"Baru juga hafalan, udah zina mata aja. Gak sayang sama hafalannya?" sambungnya.

Adel menggaruk keningnya yang tidak gatal.
"Gak sengaja, khilap. Matanya jalan sendiri, padahal tadi niatnya mau berubah buat dapetin suami spek Gus Rayyan."

"Serem banget matanya bisa jalan sendiri," kekeh Farah. "Kalau mau jodoh yang baik, alangkah baiknya kita memulainya dari diri sendiri dulu. Perbaiki apa yang masih belum baik, jaga pandangan, jaga perilaku. Karena jodoh adalah cerminan diri kita sendiri, Del." sambungnya.

Mendengar itu Adel hanya menganggukkan kepalanya, patuh.
"Enggih, Ustadzah." 

Farah terkekeh.
"Aamiin, calon Bu Nyai."

Senyum Adel merekah mendengar itu.
"AAMIIN BANTER!" 

"Heh! jangan keras-keras." Farah tak sengaja membungkam bibir Adel dengan telapak tangannya. Tak lama, ia kembali menjauhkan tangannya membuat Adel bisa kembali bernafas lega.

"Tangan lo bau terasi,"

Farah menunjukkan deretan giginya yang rapi.
"Aku baru selesai masak di ndalem tadi,"

Adel berdecak.
"Pantesan," 
"Lo udah setoran?" tanya Adel lagi.

Farah menggelengkan kepalanya.
"Tadi udah mau masuk masjid, tapi ternyata masih ngantri. Eh, malah lihat kamu di sini lagi asik zina mata. Nggak inget sama gadhul bashar?"

*Gadhul Bashar : Menahan, Menundukkan, atau Menjaga Pandangan pada yang bukan mahram.

"Tadi khilap, padahal udah mau langsung masuk masjid tadi."

Farah memutar mata jengah.
"Khilaf tapi terjadi berulang kali."

Adel tertawa.
"Kan, belum punya suami, jadi gak papa sekali-kali. Kalau udah punya suami ntar susah, gak bisa lihat kanan kiri depan belakang. Nunduk terus pegel tuh leher, kecuali kalau punya suami ganteng, nah gue pantengin terus tuh kayak jam, sama kayak gue lagi nunggu maghrib waktu puasa."

Farah menghela nafas, sabar.
"Emang suami lo jelek?" tanya Farah.
"Mana gue tahu, nikah aja belum lo tanya suami jelek apa kagak."
"Lah, tadi kamu bilang 'kalau' punya suami ganteng, gitu."

"Itu kan doanya, lo bantu aamiinkan aja. Skenario tuhan siapa yang tahu? siapa tau gue dapatnya yang paket komplit; Zaujan sholihan, aaliman, iimanan, shobiron, ghoniyan, jamilan jiddan jiddan jiddan, dhohiron wa bathinan."

Farah menggelengkan kepalanya.
"Doa kok maksa?"

"Daripada gak doa?" bantah Adel. "Maksa sedikit gak papa."

"Sedikit bagaimana?" tanya Farah. "Suami sholeh, alim (berilmu), iimanan (taat beribadah), sabar, kaya, ganteng banget banget banget, dan menerima kamu lahir dan batin. Kalau itu sedikit, banyaknya yang seperti apa?"

----------------------------------------

Ada yang punya temen kayak Adel? atau doanya sama kayak Adel? wkwk.

Temenan sama Adel = Banyakin sabar.

Apalagi, kalau digabung jadi satu paket; Ayra+Adel, apa gak pusing tuh kepala? :v

***

Segini dulu, vote dulu vote😙


🌊🌊🌊

#ToBeContinued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#ToBeContinued.

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang