Bab 38 : Isbat Nikah.

44.3K 4.2K 742
                                    

Setelah drama beberapa menit lalu selesai, kini Gus muda itu kembali berulah, tanpa aba-aba ia membaringkan kepalanya di atas paha sang istri setelah melaksanakan shalat berjamaah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah drama beberapa menit lalu selesai, kini Gus muda itu kembali berulah, tanpa aba-aba ia membaringkan kepalanya di atas paha sang istri setelah melaksanakan shalat berjamaah.

Sesaat, napas Adel tercekat, tubuhnya membeku karena bertatap mata dengan sang suami dari jarak yang begitu dekat.

"Harus dibiasakan, karena Mas akan selalu seperti ini," kata Kafka seraya menatap sang istri dari bawah.

Adel menelan ludahnya dengan susah payah, seumur hidup keadaan seperti ini tidak pernah terbayang meski Kafka adalah Gus incarannya.

"I-iya," balas Adel seadanya, entah kenapa saat ini ia bingung untuk menjawab apa.

Kafka terkekeh pelan begitu menyadari sang istri yang terlihat gugup.

"Kenapa tertawa?" tanya Adel.

Kafka kembali menatap kedua mata indah itu. "Lucu aja. Gimana rasanya nikah sama partner debat sendiri, Dek?"

"Partner debat yang sangat menyebalkan," kesal Adel. "Susah banget dideketin."

Gelak tawa Kafka mengudara, ia masih mengingat bagaimana cara gadis itu mendekatinya. "Tapi, kan, udah langsung Mas nikahin."

"Harusnya aku kabur dari dulu aja nggak, sih? Jadi langsung dinikahin, kan?"

"Kalau itu beda lagi cerita, yang ada kamu Mas hukum," balas Kafka dengan terus menatap wajah cantik yang masih mengenakan mukena itu. Bahkan, untuk berpaling dari sana rasanya ia enggan.

Adel tidak menjawab, kedua tangannya terulur menutup mata sang suami yang terus menatapnya. "Jangan lihatin aku terus."

Kafka meraih kedua tangan gadis itu kemudian menciumnya bergantian sebelum akhirnya meletakan tangan itu di atas rambut hitam miliknya. "Elusin."

Adel patuh, ia memberanikan diri mengelus surai hitam itu dengan pelan dan tanpa sadar ia tersenyum begitu melihat kedua mata Kafka terpejam.

Tok, tok, tok! Suara ketukan pintu terdengar bersamaan dengan salam, membuat kedua mata Kafka kembali terbuka.

"Kayaknya itu suara Bibi," ujar Adel. "Biar aku bukain pintu dulu."

Kafka beranjak dari tempatnya, lalu kembali memakai peci yang ia lepas. "Biar Mas aja."

Adel mengangguk mengiyakan.

Sementara itu di luar pintu, sebelah tangan Bi Inem yang akan mengetuk pintu kembali terpaksa mengambang di udara karena si empu lebih dulu keluar kamar.

"Wa'alaikumussalam. Ya, Bi?"

"MaasyaAllah, malaikat dari mana ini?" Tangan Bi Inem kembali ia turunkan, wanita paruh baya itu berdecak kagum melihat sosok yang ada di hadapannya saat ini.

"Bibi bisa aja," kekeh Kafka. "Kebetulan bidadarinya ada di dalam, Bibi mau lihat juga nggak?"

"Euleh-euleh, meuni sosweet pisan si Aa," ucap Bibi dengan logat sundanya, membuat Kafka tertawa kecil.

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang