Bab 14 : Lantunan Indah.

42.7K 4.2K 1.3K
                                    

"Boleh Kafka mengistikharahkan semuanya dulu, Bah?" balas Kafka menjawab pertanyaan demi pertanyaan sang ayah sebelumnya, hati yang masih ragu membuatnya mengambil jalan tengah dengan melibatkan Allah di dalam setiap proses, berharap mendapat petu...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Boleh Kafka mengistikharahkan semuanya dulu, Bah?" balas Kafka menjawab pertanyaan demi pertanyaan sang ayah sebelumnya, hati yang masih ragu membuatnya mengambil jalan tengah dengan melibatkan Allah di dalam setiap proses, berharap mendapat petunjuk dan arahan terbaik dari sang pemilik hati.

"Lakukanlah dan abah tunggu jawaban kamu segera." Abah beranjak dari duduknya, meninggalkan putranya seorang diri di ruangan yang beberapa menit lalu terasa senyap.

"Huh!" Terdengar helaan napas panjang dari Kafka. Baginya, bukan perkara sulit Abah mengetahui semuanya. Ilmu yang ayahnya miliki tentu lebih tinggi dan sayangnya Kafka melupakan satu hal itu.

***

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, hari ini adalah hari di mana keluarga Adel akan kembali ke Jakarta setelah bermalam di pesantren.

"Nih gue tepatin janji gue kemarin." Arzan memberikan apa yang kemarin ia beli bersama Kafka di minimarket pada sang adik.

Kedua mata Adel berbinar dengan sebelah tangan terulur mengambil satu kantong besar itu. "Wah! Makasih, Bang Tarzan."

"Ck! Nggak sopan lo." Lelaki itu berdecak kesal. "Udah dibaikin malah ngatain nih bocah."

Bukannya merasa bersalah, si empu justru memasang wajah tak berdosa dengan tersenyum lebar. "Hehe! Bercanda, Bang," balas Adel seraya menunjukkan dua jarinya tanda perdamaian.

"Makasih, Abangku yang paling ganteng," lanjut Adel dengan tersenyum manis.

"Gantengan mana sama Gus incaran lo itu?" Kedua mata Arzan memicing, menunggu jawaban sang adik.

"Ya ganteng Gusnya lah," balas Adel tanpa berpikir panjang.

Arzan memutar mata jengah, ia sudah menebak jawaban itu pastinya.
"Bucin akut lo." Arzan menjeda ucapannya. "Btw, itu coklatnya ada sebelas."

Segera, gadis itu membuka kantong tersebut dan menghitung coklatnya satu persatu. "Ini bonus buat gue? Woah! Kalau bisa sering-sering, Bang, kasih gue bonusan gini. Toh, nggak bakal bikin dompet lo kering, kan?"

"Gue belum selesai ngomong, Maemunah!" Jeda tiga detik, "itu punya Kafka, lo balikin ntar, ya! Gue tadi asal bawa aja dan lupa kalau ada punya dia."

Adel terdiam, ia tengah memahami ucapan sang kakak. "Sebentar, maksud lo gimana? Ini punya Gus Kafka? Kok bisa sama lo? Beli—"

Hap! Arzan mengunci bibir gadis itu dengan tangannya sejenak kemudian melepaskannya kembali. "Bawel. Tanya satu-satu, kan, bisa."

"Ish." Bibir Adel mengerucut kesal. "Ya, udah, lo jelasin semuanya sekarang sebelum kita nyusulin Papa sama Mama ke ndalem," kata Adel, mengingat kedua orang tuanya tengah berpamitan lebih dulu di ndalem. Sedang kakak beradik itulah yang membereskan semua barang bawaannya yang berada di penginapan.

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang