Bab 53 : Sebuah Keegoisan.

30.1K 3.8K 1.5K
                                    

Jam menunjukkan pukul sembilan malam dan selama itu, Kafka belum terlihat dari jangkauan Adel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam dan selama itu, Kafka belum terlihat dari jangkauan Adel. Sepulang mengajar kelas madin, perempuan itu bergegas kembali ke rumah untuk menemui Kafka yang ia harap sudah berada di sana. Namun sesampainya di rumah, ia harus kembali menelan rasa pahit karena sang suami belum juga menampakkan diri di hadapannya.

Adel menghela napas panjang bersamaan dengan kedua mata yang mengerjap panas. Lagi, setetes buliran air kembali turun membasahi pipi. Ia sangat menyesali keputusan yang sudah ia ambil tanpa berpikir panjang.

Adel berusaha untuk meredam kembali isakan. Namun, begitu masuk ke dalam kamar, ia tak mampu lagi menahan laju air matanya sehingga satu demi satu tetes jatuh tanpa aba-aba.

"Seenggaknya kasih aku kesempatan buat menjelaskan, Mas," lirih Adel di sela isakan. Duduk meringkuk di samping tempat tidur.

Segala cara telah gadis itu coba. Meskipun ponselnya masih berada di tangan Kafka, ia menggunakan cara lain dengan mengubungi nomor lelaki itu melalui telepon kantor pondok putri, juga menghubungi ke nomor kantor pondok putra. Namun, tidak ada balasan. Sedangkan dari pihak pondok putra mengatakan jika Kafka sedang ada urusan lain.

Lelah karena terlalu lama menangis, tanpa sadar Adel tertidur di bawah sana.

Sementara itu di depan kantor pondok putra, Kafka tengah menyibukkan diri dengan mempelajari kitab-kitab yang belum ia pahami. Mencoba mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang negatif. Terlebih sore tadi, ia kembali mendapat notifikasi di ponsel gadis itu dari orang yang sama. 'Bahagia selalu, ya!' Itulah isi pesan singkat, namun berhasil menyulut rasa cemburu di hati Kafka untuk yang kesekian kali.

"Gus, itu huruf pegon atau latin baru?" tanya Ali yang entah kapan sudah berada di depan Kafka.

Kafka terkesiap begitu menyadari tulisannya sendiri yang sudah tak beraturan. "Astaghfirullah," lirihnya.

"Ada apa?" Kafka menutup kitabnya, ia memilih tak membahas ucapan Ali, melainkan kembali bertanya perihal lelaki itu menemuinya.

"Gus nggak pulang?"

"Memangnya kenapa kalau saya bermalam di sini?"

Ali menggaruk keningnya yang tidak gatal. "Ya, nggak apa-apa, Gus, hehe! Gus kangen suasana tidur di sini, kan, pasti?"

"Ya. Kurang lebih seperti itu," balas Kafka seraya memperhatikan beberapa santri yang tengah berlalu lalang.

"Boleh saya temani? tanya Ali.

"Silakan." Kafka mengizinkan lelaki itu untuk duduk di sebelahnya.

"Untuk hukuman siang tadi apa udah disetorkan, Gus?" tanya Ali, penasaran dengan para santri yang mendapat hukuman tersebut. Apakah sesuai dengan waktu yang ditetapkan atau melebihi batas waktu karena tujuh santri tersebut saat ini berdiri di depan kantor pondok putra seraya membaca kitab seperti hukuman pada umumnya.

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang