Adel melambai pelan pada mobil keluarganya yang baru saja meninggalkan pekarangan pesantren. Kembali sepi yang gadis itu rasakan saat ini, tidak ada lagi yang memancing emosinya seperti yang biasa Arzan lakukan. Tidak ada lagi pusingnya sang ayah saat menghadapi putra dan putrinya itu berdebat dan tidak ada lagi sang ibu yang selalu sabar dalam menghadapi segala tingkahnya itu.
"Ekhem!" Dekheman seseorang dari belakang membuat Adel menoleh seketika. "Kajian sebentar lagi dimulai, jangan sampai telat."
"Saya boleh izin dulu nggak, Gus?" tanya Adel pada seseorang itu yang tak lain adalah Kafka yang sudah siap dengan setelan mengajar, ditambah beberapa kitab yang berada di dalam genggaman Gus muda tersebut.
"Alasannya?" Satu alis Kafka terangkat, tidak habis pikir dengan keberanian gadis itu.
"Semalam saya nggak bisa tidur, Gus, daripada saya tidur waktu kajian, lebih baik saya izin. Saya janji nanti bakal tambal kitabnya langsung," sambung Adel, berbohong. Padahal semalam gadis itu tidur dengan sangat nyenyak di dalam dekapan sang ibu.
"Bukannya setiap kajian memang seperti itu?" Kafka kembali bertanya. "Always tidur, kan? Kenapa baru sekarang izinnya?"
Adel menggaruk keningnya yang tidak gatal, jawaban Kafka membuat pikirannya terasa buntu. Sesaat, gadis itu teringat dengan beberapa coklat yang ia bawa.
"Sebentar, Gus," kata Adel, kemudian mengambil satu buah coklat dan memberikannya pada Kafka.
"Punya Gus Kafka, kan, satu?" tanya Adel seraya mengulurkan satu coklat batang tersebut. "Ambil, Gus."
Kafka masih enggan mengambil coklat itu.
"Kok cuma satu? Punya saya ada sepuluh kemarin.""Sepuluh?" Adel kembali bertanya, "kata Abang cuma satu, kok."
"Tapi punya saya sepuluh, Mbak, bukan satu," ujar Kafka kembali mengompori.
Gadis itu kembali mengecek kantong jajannya. "Kalau punya Gus Kafka sepuluh, berarti punya saya cuma satu, dong?" Gadis itu menunduk dalam dengan kedua mata yang kembali memanas.
Adel memang seperti itu, jika menyangkut tentang coklat maka akan sangat sensitif. Gadis itu berpikir bahwa Arzan telah menipunya.
Kafka terkekeh pelan melihat gadis itu seperti anak kecil sekarang. "Kenapa nangis hm? Saya cuma bercanda."
"M-maksudnya?" Adel mendongak menatap Kafka, sedang yang ditatap langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Itu punya Mbak Adel semua," balas Kafka.
"Jadi yang tadi cuma bercanda?"
"Ya."
Adel kembali tersenyum, entah kemana air matanya tadi. "Nggak perlu minta maaf kok, Gus. Saya yang harusnya terima kasih karena udah ditraktir sebanyak ini." Jeda tiga detik, "tapi kata Abang, yang satu ini punya Gusnya, jadi ini saya kembalikan." Gadis itu kembali menyerahkan satu buah coklat milik Kafka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA KIBLAT
Teen Fiction📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat. *** Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung ja...