Bab 44 : Tak Terbatas Waktu.

42.8K 4.1K 1.2K
                                    

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Seperti rencana Adel sebelumnya, gadis itu kini tengah menyiapkan segalanya di dalam kamar mandi.

Debaran jantung mulai menggila. Bayangan tentang malam pertama membuatnya bergidik ngeri. Apalagi semua orang bilang bahwa setelah melakukan itu rasa sakitnya tak bisa dijelaskan oleh rangkaian kata-kata.

"Kok, gue deg-degan, ya?" Sesaat, Adel memegang dadanya, beribu perasaan kini bercampur jadi satu.

Adel kembali melihat pantulan dirinya di cermin, merasa aneh dengan penampilannya sendiri saat ini yang di mana pakaian yang ia anggap seperti jaring ikan telah terpasang sempurna membalut sebagian tubuhnya yang berisi.

"Gue udah kayak beda orang, gila! Seksi banget. Apa nggak klepek-klepek dia nanti?" Lagi dan lagi hal liar merasuki pikiran bawah sadarnya, gadis itu menggeleng pelan, mengusir hal-hal kotor yang menari-nari di pikirannya.

Penampilan Adel malam hari ini sangat sempurna. Ditambah rambut yang ia gerai begitu saja serta make up tipis yang sengaja ia pakai untuk menambah kesan maksimal.

"Semuanya udah oke, dari ujung kepala sampai ujung kaki gue udah wangi. Tapi, gue ragu buat keluar. Kira-kira Mas Ka udah masuk kamar belum, ya? Atau gue batalin aja?"

Adel berjalan mondar-mandir di belakang pintu, merasa bimbang dengan apa yang akan ia lakukan. Ia mencoba meraih handle pintu, memastikan sang suami berada di sana atau tidak karena sebelum ini Gus muda itu tengah berbincang di luar bersama sang ayah.

"Sepi, itu artinya belum masuk. Lebih baik gue pura-pura tidur aja terus pakai selimut. Kalau dia sadar, ya, itu artinya memang malam ini waktunya. Tapi kalau enggak, ya, gue selamat."

Pintu kamar mandi terbuka, Adel melangkah lebar menuju tempat tidur. Sayangnya, pintu kamar juga terbuka dari luar, membuat gadis itu mematung di tempat seketika.

Sama dengan Adel, Kafka terdiam di tempat dengan terus memandangi penampilan sang istri yang sangat berbeda dari biasanya. Segera, ia menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat sebelum akhirnya berjalan mendengat pada gadis itu yang justru memejamkan matanya, malu.

"Apa ini, hem?" Kafka merengkuh pinggang sang istri dengan mengusapnya perlahan. "Kenapa pakai pakaian terbuka?"

Adel berdehem sejenak, menormalkan irama detak jantungnya yang tak keruan. "A-aku kepanasan, Mas. Makanya pakai baju kayak gini, hehe!" balas Adel diakhiri kekehan di akhir kalimat.

Bukannya menjawab kembali ucapan sang istri, Kafka justru memeluk sang istri dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher gadis itu. "Cuaca lagi dingin, Sayang. Nggak mungkin kamu kepanasan, AC kamar juga nyala," bisik Kafka dengan napas yang sudah terdengar berat. "Dari kapan suci?"

Adel menahan geli saat merasakan hembusan napas Kafka yang menyapu lehernya.

"Mas, jangan kayak gini, geli." Adel melepaskan pelukan tersebut.

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang