Bidadari di tumpukan sampah

19 2 0
                                    

SMA tokek sepertinya pilihan terakhir yang gue pilih. Akhirnya gue kemakan omongan sendiri. Apa jangan-jangan gue dikutuk buat masuk sekolah ini? Mungkin persepsi gue terhadap lingkungan sekolah tokek emang buruk, tapi siapa tau ternyata di dalamnya lebih....... parah. Seperti pepatah bilang, jangan nilai buku dari covernya. Ini gak berlaku buat SMA tokek, gue yakin kalau SMA tokek dijadiin sebuah buku, pasti yang baca ingin ngeludah.

Di pagi yang sedikit mendung ini gue memutuskan untuk berangkat sama Frendo ( sahabat tompel gue ). Gue merenung dalam perjalanan ke rumah Frendo. Sepertinya gue tidak punya pilihan lagi, mungkin ini yang terbaik buat gue. Sebenarnya ada opsi buat gue buat mulung botol bekas, ekmm, masuk SMK, tapi niat itu gue urungkan. Gue gak mau jadi anak yang ngelawan orang tua, apalagi sama seorang ibu. Gue takut dikutuk jadi tulang iga sama bokne, males banget badan gue dijilatin bulldog tiap hari.

Akhirnya nyampe di rumah Frendo. Gue langsung markir di depan teras lalu naik tangga luar yang langsung menuju kamar dia. Frendo tiduran telentang di kasurnya, matanya kosong menatap langit-langit plafon kamar.

"Ndo, udah gak usah dipikirin. Emang kita ditakdirkan di sekolah ampas itu," kata gue sambil menaruh tas.

"Oi re, Aku masih belum bisa move on dari SMA 3. Kurang 0,2 aja gak keterima wak raportku." Raut muka Frendo tampak kesal.

Gue mencoba menenangkan. "Bayangain nih, kalau kita keterima ke SMA 3, tapi setiap hari kita harus bangun jam 5 pagi untuk menempuh jarak 30 KM."

Frendo mengangguk. "Iya juga sih re, semoga lah SMA tokek tidak mengecewakan."

"Kalau prestasi gak dapet, minimal cewek lah ndo." Kata gue sambil berbaring di kasurnya. "bosan aku setiap hari ke kamarmu terus."

"Hahaha. Cewek aja otak kau re"

"Halah, bacot kau, Ndo."

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Suasana sekolah tokek dihari ke-3 lumayan sepi. Gue memarkirkan motor di parkiran guru, takut aja motor gue digondol maling siang bolong.

Frendo berjalan menuju meja pendaftaran, sedangkan gue langsung jalan mengelilingi sekolah. Gue memeriksa setiap sudut sekolah dan memastikan tidak ada telur anaconda atau anak buaya air tawar. Walaupun di luar sekolahnya sangat buruk, ya di dalamnya masih bisa lah dikatakan kurang bagus. Bangunan sekolah tokek berwarna biru langit bergradasi biru muda, Sebenarnya sekolah ini gak buruk-buruk amat. Ada beberapa sih yang harus diperbaiki, seperti akses jalan masuk, kebersihan lingkungan, genteng bocor, lantai retak, saluran parit yang penuh sampah, penangkaran pyton, tempat sarang burung walet. (LAH KOK BANYAK?!!)

Gue berjalan ke belakang halaman sekolah tokek, rupanya masih ada lahan untuk bangun gedung baru. Tempatnya mengerikan sekali, lumpur dimana-mana, rumput liar setinggi dada, dan diujung dekat pohon mangga dijadikan TPS warga. Di saat gue lagi merhatiin pohon beringin yang lumayan besar, tiba-tiba ada gerakan cepat dari samping kanan gue. Gue penasaran, pas gue melirik ke kanan ternyata itu... BIAWWAAAKK!!.

"ADA BIAWAK!!!!" teriakan gue melengking.

Tanpa pikir panjang, gue langsung ngibrit ke lorong kelas. Mati gue kalau digigit bagian kaki, bisa-bisa pake kursi roda selama 2 bulan. Ketika gue lari dan nengok ke belakang, rupanya... BIAWAKNYA NGEJAR!!!

Gue membayangkan apa yang dipikirkan biawak. Mungkin di dalem pikirannya, "Sini lo monyet, gue laper nihh. Berhenti gak lo atau bapak lo gue culik."

Gue langsung berbelok ke kamar mandi dan nutup pintu serapet-rapetnya. Napas ngos-ngosan, keringet jagung membasahi muka, dan kaki gue terkulai lemas. Gue menghela napas panjang. Ini bener-bener sekolah habitat binatang buas. Untung lari gue tergolong cepet, kalau aja kecepatannya kayak siput, bisa-bisa gue dijadiin rendang sama tuh biawak. Lima menit gue berdiam diri di kamar mandi.

Catatan Sang Pengendali TokekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang