Pagi ini gue diajak Nadilah ke pulau bulan lintang. Yap, gue diajak ke kampung halaman Nadilah. Sepupu Nadilah yang bernama Afan mau menikah. Awalnya, Nadilah berangkat sama orang tuanya, tapi ibunya dirawat di rumah sakit dan bapaknya harus menjaga ibunya. Gue berangkat sama Nadilah naik motor scopy (punya gue) ke pelabuhan tanjung uncang.
"Dil, nanti kita ngedayung gitu ya pas naik perahunya?" tanya gue ketika memarkirkan motor.
"Tak lah, Re. Awak kira ini tahun 90an, ya ada perahu yang udah ada mesin motornya."
"Ada pelalampungnya gak, Dil?"
"Emmm, tak. Jadi kalau tak bisa renang, ya mati lah awak."
"HAHH?!!! Seriussan?!"
"Iyaa, mana ada pelampung. Awak bisa renang, Kan?"
"Bisa kan?"
"Kann...??!!"
"......"
"Aku nemeninmu sampe sini aja lah kayaknya."
"HEH!! Tak, tak. Aman kok, Re. Percaye lah sama saye."
Gue dan Nadilah berjalan ke jembatan pelabuhan lalu turun ke tangga kayu untuk mencari kapal pom-pong.
"PAK CIK!!" teriak Nadilah
"HAA, ncik dila. Jom-jom sini," bales pak tua yang memakai topi nelayan.
Gue berjalan dengan ragu. "Dil, ini aman tak?"
"Amann... baca doa daaah."
"Dill, kok ini kapalnya goyang-goyang??"
"Biasa laaa itu.."
"Pinggulnya abangnya juga goyang, Dil!"
"Reee.."Gue dengan perlahan menaiki kapal kayu tersebut, gak lama, kapal jalan ngebut. Tangan kiri gue megang pinggir kapal, tangan kanan megang pundak Nadilah. Enggak ini bukan modus, tapi gue emang bener-bener takut.
"Ini calon suami ncik, kah?" tanya pak tua
"HAHH? Bukan lah pak cik. Ini kawan saye dari SMA."
Gue diam aja sambil ngangguk-ngangguk.
"Kalian cocok juge, pacaran ke?"
"Tak laa, cuman teman jee...."
"Ini rencana saya jadikan istri ke-4 pak cik."
"Hhahaha mantep juga awak ni, cik."
"Awak bisa diam tak, Re?"
Gue mengangguk, lalu berbisik ."Ke-2 boleh ya, Dil."
"REEE!!"
Gak lama perahu nyampe ke pelabuhan pulau, gue udah berjalan sempoyongan lalu cepat-cepat lari ke rumput. Yak, gue mengeluarkan isi makanan lewat mulut gue. Nadilah memegang belakang leher gue.
"Minum dulu, Re," kata Nadilah sambil menyodorkan gue minuman botol.
"Masih jauh, gak?" tanya gue.
"Tak lah, cuman jalan setengah jam lagi."
"HAHH!! Oke dil, kayaknya aku pingsan di jalan."
"Kuat lah awak ni, yok lah," bales Nadilah sambil menggandeng tangan gue.
"Bentar, ada minyak kayu putih gak?"
"Ada, ada." Nadilah mengeluarkan botol hijau lalu memberikannya ke gue.
Setelah setengah jam gue berjalan dengan sempoyongan, akhirnya gue nyampe di depan rumah neneknya Nadilah. Rumahnya berada dipinggir pantai dengan jembatan kayu yang menghubungkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Sang Pengendali Tokek
Novela JuvenilProlog : Hai hai haaaiiii..., ini saya Renja Sujana. ENGGAK!! ENGGAK!! Kayaknya ini terlalu feminim. Halo, halo bandung Lah malah jadi lagu Seharusnya pake gue, kalau pake saya kayak pidato ketua RT mimpin rapat. Perkenalkan nama dia, Renja. Renja...