Jebolnya Kantin Abel

6 2 0
                                    

Akhir-akhir ini gue jadi sering berangkat pagi, maaf gue ralat, subuh lebih tepatnya. Gue setara dengan bencong yang baru pulang kerja. Sebenarnya gue bisa aja sih memilih untuk telat, tapi kan gue cowok (bukan telat datang bulan WOI!). Terpaksa mungkin kata yang tepat. Gue harus nganterin Payed (adek gue) terlebih dahulu. Durasi perjalanan rumah ke sekolah payed sekitar 14 jam, itu kalau jalan kaki sambil dorong mobil sayur. Payed bersekolah di salah tiga SMP favorit di Batam. Bokne selalu memuji sekolah payed. Kata Bokne, persentase sekolah Payed untuk jadi dokter sekitar 70%. Gue sih yakin sama payed bisa jadi... suster. Beda lah pokoknya sama SMA tokek yang 90% siswanya yang otomatis jadi anggota geng kapak. Gue kalau telat gara-gara nganterin Payed dan balik ke rumah. Respon Bokne cuman..

"Wes rapopo, palingan sekolahmu lagi panen bawang."

"...."

"Maaf, maksud bokne iku, jagung."

"Tapi kan ada juga lulusan sekolah abang yang jadi polisi bokne," kata gue, sedikit membanggakan.

"Halah bang, bang. Iku pasti jalur belakang, orang tuane pasti jual rumah iku, yakin bokne."

"Amm.. Iyaa, bisa jadi sih.."

"Kamu lulus wae aja bokne bersyukur, sembrono sitik kamu iso jadi maling jemuran lo bang.

"Sdofjsdojfpow?!@#!$"

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Seperti biasa gue dateng ketika Lala cuman sendirian di kelas. Dia duduk dengan tatapan kosong. Gue langsung duduk di depannya. Gue melambaikan tangan di depan mukanya, tapi dia tetap menghiraukan. Gue harus mencoba mendapat atensi Lala. Jurus jitu akan gue coba yaitu ... mengorek hidungnya dengan kelingking kanan gue.

*Srekhh srekhh

"Ahhh Renja mahh...."

"Bengong aja... ntar kesurupan kodok jawa gimana, Lak?"

Lala tersenyum, lalu memegang tangan gue. "Re, aku jahat gak sih sama Galih?"

Gue terdiam, mencari jawaban yang tepat tentang persoalan itu. Yap, baru kemarin Lala menolak cinta dari Galih. Sebenarnya gue setengah-setengah jatuh cinta sama Lala. Gue belum yakin apakah Lala beneran sayang sama gue, atau hanya sayang sebagai teman.

"Emang gimana perasaanmu sama Galih, Lak?"

"Emm.... Biasa aja sih, Re. Malah aku kayak kaget aja, tiba-tiba dia nyatain perasaannya kemarin."

"Aku pernah diposisi Galih, Lak. Tapi bedanya waktu itu jawabannya masih mysteri."

"Kamu nembak anak pocong?"

"BUKANN!!"

"Jadi...?"

"Waktu itu aku pernah nembak nata waktu liburan semester kelas 10 kemarin."

"Hahh...? Seriusan, Re. Kok aku gak tau sihh..."

Gue duduk di samping Lala, memainkan pensil yang gue pegang.

"Teruss? Kenapa gak kamu tanya aja? Siapa tau aja diterima."

"Huhhhh.... Dah lah, lupain aja. Lagian, aku dah gak pernah komunikasi lagi sama dia."

"Oalahh... baguslah, Re."

Respon macam apa itu, baguslah. Apakah Lala memberikan kode? Ah jangan terlalu optimis dulu. Mungkin Lala hanya memberi gue sedikit semangat supaya bisa move on.

"Tapi— eem... gak jadi.."

"Balik lagi ke Galih, terus kamu masih komunikasi sama dia, Lak?"

"Emm...masih sih, bahkan sekarang lebih sering gitu. Perasaanku sama Galih kayaknya udah mulai tumbuh."

Catatan Sang Pengendali TokekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang