Bodoh seperti tupai

4 2 0
                                    

Telat. Gue melihat satpam menutup gerbang utama sekolah. Gue gak punya pilihan lain selain pulang. Bisa aja sih, gue nyambi kerjaan jadi juru parkir, tapi gue yakin pelanggan menganggap gue sebagai tersangka begal sepeda, itu pasti bisa menyebabkan gue dipukulin dan masuk penjara. Gue memutuskan mutar balik, mengendarai motor menuju arah pulang, tapi...

"Oi, Ree!!" panggil Deva dari arah yang berlawanan. "Pulang kamu cui?"

Gue memberhentikan motor. "Lah, iyalah, apalagi..."

"Gak sekolah, cui?"

"Lah, emang bisa?"

Deva mengangguk-ngangguk. "Udah, sans aja. Ikut saya."

Gue mengikuti motor Deva dari belakang. Gak lama kami memarkirkan motor di samping gereja. Setelah itu, kami berjalan melewati sawah dan masuk ke perkampungan warga.

"Dev, kau mau masuk sekolah atau mau beli narkoba dah?"

"Ahahaha, tenang-tenang cui."

Gak lama setelah itu, Deva berbelok ke perkebunan warga. Gue melihat tumpukan sampah, container bekas dan barang elektronik yang ditumpuk ngasal, persis di belakang sekolah tokek.

"Dev, kau serius aja nih, udah makin aneh. Aku pulang aja lah."

"Udah, aman ini cui. Kita manjat tembok ini."

Gue ngelihat dengan mata kepala sendiri. Ada satu tembok yang udah mau roboh. Tembok itu udah lumayan hancur dan miring. Di situ juga ada kursi kayu yang udah patah-patah. Sekilas kalau diliat dari luar udah kayak tembok rumah angker.

"Dah tau aku pendek, Dev."

"Saya manjat dulu, Re. Ntar saya narik kamu dari atas."

Gue mengangguk. Pandangan gue gak jauh-jauh dari semak belukar dan berbagai pohon pisang di belakang gue. Jujur, gue masih trauma sama hewan-hewan buas.

Deva loncat dan berhasil menggapai tembok atas. Ketika berhasil naik ke atas tembok, dia mengulurkan tangannya ke bawah.

"Oke, Re aman."

*Pssstt—psssttt

Gue mendengar seperti ada yang mendesis.

*Psssss.....pssss..

Hening.

"....."

"RE JANGAN GERAK!"

"Apa-apa, kenapa Dev?!! APA WOI!"

"Udah diem dulu, Re. Tunggu dia lewat."

"Apa, apa yang lewat?!! Guru?! Apa woi?!"

Gue semakin panik. Mata gue mengerling, untuk melihat sekitar belakang gue, dan ternyata....

"KOBRA!!! KOBRAA!!! ADA KOBRAA!! DEVV AMPAS!!"

"Bukan, Re. Itu ular sawah biasa. Gak berbahaya kok."

"Fak, lah Dev. Ini bantu aku ke ataas dulu..."

"Dia lagi membaca pergerakanmu, kamu itu musuhnya dia atau temen."

"HAAA?!! GIMANA-GIMANA?!! GIMANA CARANYA AKU BERTEMEN?!!!"

Deva udah ketawa cekikin dari tadi. Gue mengatur pola napas yang gak beratur dan memberanikan diri menghadap belakang.

Ular itu bener-bener menatap mata gue dengan tajam dan beberapa kali mengulurkan lidahnya.

Dia seperti sedang menganalisis sesuatu. Ular itu perlahan memajukan kepalanya, mendekati gue.

"Hushhh...hushhhh..."

Catatan Sang Pengendali TokekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang