Hari sudah mulai beranjak sore ketika Xania duduk di ruang tamu apartemennya yang sederhana. Satu bulan telah berlalu sejak ia berhasil melarikan diri dari Riko, pria yang telah menghantui hidupnya dengan obsesi gila.
Setelah perbincangan antar keluarga Xania memutuskan untuk mengikuti saran abangnya, Evan, dan memulai hidup baru di Singapura. Kota yang penuh dengan harapan dan kesempatan, jauh dari bayang-bayang masa lalunya.
Xania meraih ponsel di meja, ia perlu menghubungi Dinda, sahabat terbaiknya untuk bertemu. Ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka sebelum Xania berangkat ke Singapura besok.
Xania tahu Dinda pasti memiliki banyak pertanyaan, dan ia ingin memberikan penjelasan yang jelas tentang keputusan nya ini.
Panggilan berdering beberapa kali sebelum suara ceria Dinda terdengar di ujung telepon.
"Hai, Xania! Apa kabar? Aku merindukan mu, bagaimana kabar kamu Xania."
"Hai, Dinda, kabar ku baik." suara Xania terdengar lemah namun tegar.
"Aku ingin bertemu denganmu hari ini. Ada sesuatu yang perlu aku sampaikan."
"Kamu di Jakarta, Xania? Kapan dan di mana kita akan bertemu?" tanya Dinda tanpa ragu.
"Aku di apartemen sekarang. Bisa datang ke sini? Akan aku kirim alamat nya." jawab Xania.
"Baiklah, aku akan segera ke sana. Tunggu sebentar, ya," jawab Dinda sebelum menutup telepon.
Xania menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu pertemuan ini akan penuh dengan emosi, namun ia harus melakukannya.
Tak lama kemudian, bel apartemen berbunyi. Xania membuka pintu dan mendapati Dinda berdiri di sana dengan senyum hangat.
"Masuklah, Din," ajak Xania sambil memberi ruang bagi sahabatnya untuk masuk.
Dinda masuk dan memeluk Xania erat-erat.
"Aku merindukanmu, Xania. Kau terlihat sedikit lebih baik sekarang." Xania tersenyum samar.
"Terima kasih, Dinda. Aku juga merindukanmu. Ayo, duduk dulu. Ada banyak hal yang perlu aku ceritakan."
Setelah mereka duduk di sofa, Xania mulai menceritakan semuanya. Tentang pelariannya dari Riko untuk yang kedua kalinya, kali ini ia berencana untuk memberi tahu tentang kepergian nya ke Singapura, dan bagaimana Evan telah menyiapkan tempat untuknya bekerja di sana.
"Aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan, Din," kata Xania dengan suara tegas namun lembut.
"Aku butuh awal yang baru, tempat di mana aku bisa merasa aman dan membangun kembali hidupku. Kamu tau kan aku sudah mencoba ke Belanda waktu itu namun semuanya gagal, sepertinya aku memang harus bersama bang evan. Dia memiliki koneksi yang cukup di negara itu, jadi mungkin aman untuk aku menjalani hidup disana."
Dinda mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan campuran antara keprihatinan dan harapan.
"Aku mengerti, Xania. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku bangga padamu. Kau berani untuk memulai lagi setelah percobaan pertama yang gagal."
Mereka berbicara lama, menghabiskan waktu mengenang masa lalu dan merencanakan masa depan. Dinda memberikan banyak dukungan moral yang sangat dibutuhkan Xania.
"Kau harus berhati-hati di sana, Xania. Singapura memang aman, tapi tetaplah waspada," pesan Dinda dengan tulus.
"Tidak perlu khawatir, Dinda. Terima kasih untuk semuanya, kamu pernah menolong aku saat pertama kali mencoba kabur dari pria gila itu. Tolong jangan beritahu pria itu jika nanti di kantor ia mendatangi mu." balas Xania dengan mata yang berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Obsession
Romance"Mau, lari kemana lagi? Sudah ku bilang kau tidak akan pernah bisa lepas dari jangkauan ku sayang" senyum licik terlihat jelas di wajah yg tampan itu. "Kau, bisa gak Menjauhlah dari ku!" Gadis tersebut bergegas melarilan diri,ke sebuah tempat gang...