Bab 23 Deals Come at a Price

34 3 0
                                    

Keesokan harinya, aku mencari Ravi segera setelah aku selesai sarapan.

"Labi!"

"Ya yang Mulia."

"Ao kluwa." (Ayo pergi keluar.)

"Keluar? Apakah Anda ingin pergi ke taman?"

"Kan diluwa, antol." (Bukan di luar, kantor.)

Ravi, yang bingung dengan kata-kata 'antol' , mengangguk segera setelah dia memahami maksud ku.

"Aha. Apakah Anda mencoba untuk melihat ajudan Anda? Aku akan memanggilnya untukmu."

Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat.

"Au gi." (Aku akan pergi.)

"H-haruskah kita?"

Karena aku tidak akan pernah diizinkan berkeliaran di Istana Kekaisaran sendirian, lebih baik dibawa berkeliling.

Aku tiba di kantor tadi malam, memegang tangan Ravi dengan tas yang diam-diam telah kukemas.

Itu adalah kantor Kaisar, tapi aku belum pernah ke sini sebelumnya.

"Ini lebih seperti kantor Gustav daripada kantorku."

Dengan mengingat hal itu, aku mengetuk sebelum masuk. 


Mengetuk pintu ketika kamu memasuki ruangan seseorang itu sopan.

"Siapa ini?"

"Aku!"

Klik!

Di balik pintu yang terbuka lebar, aku melihat wajah kaget Gustav.

Aku memberinya senyuman.

"K-kenapa Anda... tidak, ini Kantor Kaisar...?"

"Ii Gustab." (Ini milik Gustav.)

Aku melihat kembali ke arah Ravi di depan Gustav yang kebingungan.

"Labie, Eka." (Ravier, ambilkan aku boneka.)

"Ya? Boneka apa?"

"Ai, iyak, inci." (Puppy, tidak, boneka kelinci.)

Untuk sesaat, aku ingat aku tidak memiliki boneka anak anjing, jadi aku segera mengoreksi diri.

Ravi, yang sedang mondar-mandir, membungkuk ke arah Gustav dan menghilang untuk mengambil boneka itu.


"Aku sudah menyingkirkan satu untuk saat ini."

Aku harus berurusan dengan yang lain sekarang.

Aku melihat ke atas. Gustav menyesuaikan ketinggian matanya dengan mataku.

"Haruskah saya meminta pelayan untuk membawakan es krim?"

"Ya ampun! ...ah tidak."

Aku menggelengkan kepalaku dengan mata tertutup rapat.

Aku hampir jatuh untuk es krim.

Pengasuh tidak memberiku banyak makanan ringan,

jadi itu bukan kesempatan yang mudah, tetapi aku harus menyerah dengan air mata berlinang.

Aku menghela napas dalam-dalam, melewati Gustav dan masuk ke kantor.

Kantor benar-benar berantakan.  Ada tumpukan buku di lantai, dan mejanya mengingatkanpada kuburan dokumen.

"Y-Yang Mulia!"

Kalau-kalau aku menyentuh sesuatu, Gustav bergegas masuk.

Bagaimanapun, aku masuk lebih dalam dan lebih dalam, berpura-pura melihat-lihat kantor.

Bayik TiranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang