4. Jalan

48 5 0
                                    

Sendai. 23.00
.
.
.
''Kenapa kau masih merokok?''

Daichi berdiri di sebelah Seiya yang duduk di teras samping rumah, merokok sambil menikmati secangkie kopi hitam. Seiya hanya diam dan kembali menghisap asap pembakaran tembakau itu.

''Beruntung ayahku tidak disini. Jika tidak, rumah ini akan berisik lagi,'' ucap Daichi lalu duduk di sebelah Seiya. Dia merebut rokok yang ada dalam apitan mulut sepupunya dan mematikan sumbunya.

''Ceritakan saja. Jangan memendamnya lagi, Seiya,'' ucap Daichi. Seiya menghela napas dan menundukkan kepalanya. ''Katakan. Apa orang tuaku punya musuh?'' Tanya Seiya dengan tatapan serius, Daichi tertekan dengan sikap sepupunya yang demikian. Dia lebih suka Seiya yang periang dan nakal.

''Masalah itu lagi? Aku tahu kau dendam dengan si pelaku. Namun mustahil mencarinya yang kini sudah lewat beberapa tahun, Seiya. Menyerahlah. Ikhlaskan mereka--''

''Ha? Orang tolol mana yang membiarkan masalahnya berlalu? Pecundang sekali''

Daichi bungkam dalam diam. Jika nada bicara Seiya sudah oktaf bawah, Daichi tidak bisa melawan. Apalagi menatap sepupunya yang sudah melotot tajam. Seiya begitu mengerikan dilawan. Keheningan melanda di antara mereka berdua. Seiya masih diam dalam amarah sambil menyeruput kopi pahitnya. Daichi ingin memberitahu kebenarannya, tapi semua itu tertahan dalam pita suaranya.

''J-Juinchiro ...''

Klotak!

Seiya terlalu kasar meletakkan cangkir kopi di tatakan cangkir. Mendengar nama atau marga yang disebutkan Daichi membuatnya fokus kembali. ''Katakan sekali lagi,'' titah Seiya.

''J-Juinchiro. Aku sekilas pernah mendengar nama marga itu saat menguping obrolan Paman dengan Ayahku. Katanya mereka ada masalah dengan orang yang bermarga Juinchiro,'' ucap Daichi tergagap gugup.

''Kau tahu lokasi pekerjaan atau apapun tentang rekam jejak lainnya?'' Tanya Seiya. ''T-Tidak. Aku tidak tahu. Tanya ayahku besok. Dia kembali ke Sendai jam 12 siang,'' jawab Daichi.

Seiya diam sejenak, lalu dia menghela napas panjang. ''Arigato na, Dai-chin. Kau memang sepupuku yang baik dan waras,'' ucap Seiya kembali ceria. Ekspresi Daichi menjadi teduh, dia tahu jika mimik wajah itu dipaksakan.

''Jangan memaksakan dirimu, Seiya''.

•••
05.45

Di pagi hari yang damai, Asahi terbangun dari mimpinya. Dia menguap kantuk sambil menggaruk kepalanya. Netranya melirik teman - temannya yang tidur di futon sebelahnya. Hingga matanya terbelalak melihat pemandangan tak wajar di sampingnya.

Seiya yang tidur di atas Daichi, alias menindih sang sepupu sampai wajah Daichi terlihat pucat. Asahi langsung menggoyangkan bahu Sugawara, membangunkan temannya dalam diam. Sugawara akhirnya bangun dan kaget melihat pemandangan itu juga.

''Astaga. Bisa - bisanya mereka begitu, mana Daichi kelihatan sesak napas lagi,'' shock Sugawara melek selebar - lebarnya. ''Mungkin dia jatuh dari kasurnya dan menindih Daichi. Ayo kita tolong mereka,'' ucap Asahi.

''Chotto! Biarkan aku memotret mereka. Hehehe~'' ucap Sugawara terkikik gila. Asahi sweatdroppe dengan tingkah Sugawara yang terkadang kalem dan terkadang sesad.

Ckrek! Ckrek! Ckrek'

''Aish ... suaranya lupa dimatiin,'' keluh Sugawara sambil melihat hasil foto yang ia tangkap. Daichi terusik dengan suara itu lantas membuka mata. Matanya langsung terbelalak karena menjumpai Seiya yang tidur menindihnya. Sontak dia langsung menepis kepala Seiya sampai gadis itu tersungkur ke samping.

The Barista Girl (M.Osamu × Readers)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang