6. Krisis Moneter

48 5 0
                                    

TPU Hyogo. 15.00
.
.
.
''Aku datang, Tou- san, Kaa- san''.

Seiya datang sambil membawa dua bouquet bunga mawar putih. Ia meletakkan dua bouquet itu pada masing - masing kuburan salib di depannya. Kemudian Seiya duduk bersila di hadapan makam kedua orang tuanya.

''Tou- san. Seandainya engkau masih ada, aku ingin minta tanda tanganmu untuk surat pengambilan rapot dan segala hal. Aku ingin ngopi sama Tou- san dan belajar bisnis juga. Tapi ... aku hanya bisa belajar sendiri, tanpa siapapun,'' ucap Seiya berbicara pada batu nisan ayahnya dengan tatapan teduh.

''Kaa- san. Seandainya engkau masih ada, aku ingin dimasakin omlet dan sushi. Aku juga ingin diantar sekolah setiap hari dan dibelikan jajan oleh Kaa- san setiap mampir ke minimarket. Tapi ... sekarang aku melakukan semuanya sendiri,'' ucap Seiya beralih mengobrol dengan batu nisan ibunya.

''Aku ... aku hanya ingin kalian berada di sisiku. Aku ingin mengeluhkan semuanya pada kalian. Dan sekarang, aku ingin mengeluhkan bagaimana caranya aku bisa membayar tagihan sekolah yang menunggak ini,'' ucap Seiya menunduk sendu.

Terlintas di benaknya, satu - satunya cara ia mendapatkan uang lebih sebelum ujian adalah dengan menggunakan uang tabungannya. Seiya menghela napas lalu berdiri dari duduknya. Dia menyatukan tangannya yang saling menggengam, berdoa kepada Tuhan lalu pamit pulang.

''Terima kasih mau mendengarkan keluh kesahku, Tou- san. Kaa- san. Kapan - kapan aku akan mampir lagi. Matta ne,'' pamit Seiya lalu melangkah pergi dari TPU.

•••
22.00
.
.
.
''Astaga ... hari ini juga ramai sekali ...''

Subaru menghela napas lelah sambil tiduran di karpet kamar Seiya. Mereka habis menutup cafe, banyaknya pelanggan yang habis pulang kerja atau anak muda yang nongkrong membuat mereka kelabakan menangani pelanggan yang terus berdatangan.

''Na, Bos. Kenapa tidak cari pegawai lagi? Kita kesusahan lho,'' tanya Subaru sambil membantali kepalanya dengan lengan. Seiya yang baru mengambil celengan ayamnya dari ruang bawah tanah lantas berkata.

''Kau mau gajimu dipotong?''. Subaru langsung menggelengkan kepalanya. ''Tidak. Tidak mau. Itu untuk biaya cicilan apartemenku,'' tolak Subaru. Dia melihat Seiya yang memandangi celegannya lalu membanting celengan tanah liat itu ke lantai.

Prak!!

''Puji Tuhan ... ayamku mati, finansialku pulih kembali,'' ungkap Seiya bersyukur lalu memunguti uangnya yang banyak, entah itu kertas maupun koin logam. Dia masih punya 2 celengan ayam di ruangannya. Namun yang satunya belum penuh. Jadi ia memecah satu saja.

''Wih~. Banyak banget. Bagi - bagilah bos~'' ucap Subaru mencoba mengambil satu gulungan uang, tapi tangannya ditepis oleh Seiya dengan tatapan sinis. ''Ini uangku. Untuk bayar SPP, uang gedung sama komite yang nunggak,'' sinis Seiya membuat Subaru shock.

''Ha?! Kok bisa sampai nunggak?!'' Heran Subaru memekik. Seiya mengerlingkan matanya malas. ''Kau pikir siapa yang akan membayar adiministrasi sekolah? Aku ini yatim piatu, Harukawa- san'' ujar Seiya membuat Subaru diam.

''Gelap - gelap. Aku nggak mau dengar lagi,'' ucap Harukawa sambil berbalik badan dan menyahut tasnya. Dia memilih untuk berkutat dengan laptopnya daripada berdebat dengan Seiya.

''Tokorode, skripsimu sudah di revisi 'kan? Kapan sidangnya?'' Tanya Seiya sambil menghitung jumlah nominal uang tabungannya. ''Entahlah. Biasanya nunggu teman - teman yang lain,'' jawab Subaru.

''Yah ... berati jika kau sudah wisuda, kau pasti resign 'kan?'' Terka Seiya sedikit kecewa. Dia sudah menghitung semua uangnya yang cukup banyak lalu disimpan dalam amplop besar. Kemudian ia meletakkan amplop yang berisi segepok uang itu ke dalam loker meja belajarnya.

The Barista Girl (M.Osamu × Readers)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang