Bab 36. Perhatian Alisha

161 4 0
                                    

"Jangan gitu dong, Farhan. Kamu sama sodara sendiri kenapa perhitungan banget? Kalo kamu nyuci, ya sekalian kamu cuciin punya kakak sama adik kamu," pinta Nur.

"Bu, aku bukannya perhitungan. Tapi mas Faisal sama Farida kan udah dewasa, udah bisa ngurus masalah baju kotor mereka sendiri," sanggah Farhan. Tapi Nur tetap tidak terima.

"Adik kamu dari kecil kan nggak pernah nyuci baju gitu, dia gak biasa..." kata Nur.

"Manjain terooos," sindir Farhan sarkas. Nur melotot sebal. "Kamu belum punya anak, jadinya gak tau perasaan ibu kalo liat anak bungsu, ibu liat Farida itu kayak masih kecil terus. Makanya maklumin aja kalo adik kamu agak manja."

Farhan menghela napas panjang. "Minimal dia harus bisa ngurus diri sendiri, Bu. Mau jadi apa dia kalo apa-apa terus bergantung sama orang lain?"

"Dia kan calon dokter, gapapa kalo dia gak bisa kerjaan rumah," jawab Nur. Farhan mengangguk. "Yaudah sih, gapapa kalo mas Faisal sama Farida emang nggak mau nyuci baju mereka masing-masing, ntar suruh mereka anter ke laundry aja. Biar nggak nyusahin aku," jawab Farhan, lalu melangkah menuju kamarnya. Nur geleng kepala, merasa tidak puas dengan jawaban anak tengahnya itu.

"Kamu harusnya cepet nikah, biar ada yang bantu-bantu ibu di rumah."

Farhan yang langkahnya hampir tiba di kamar langsung berhenti, dia menoleh pada Ibunya. "Maaf, Bu. Nanti kalo aku udah nikah, mending aku ngontrak aja, kasihan kalo istri aku kelak jadi pembantu kayak mbak Alisha," kata Farhan sebelum masuk ke kamar.

Farhan melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan langkah berat, terbawa oleh beban pikiran setelah pembicaraan dengan ibunya. Suasana ruangan yang sepi membuatnya semakin merasa sendiri. Dalam keheningan itu, dia membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian, mencoba meredam emosi yang sebelumnya cukup membuat dadanya sesak.

Duduk di pinggir ranjang, Farhan menghela napas panjang sambil menatap kosong ke luar jendela. Namun, keheningan tiba-tiba terputus oleh suara notifikasi dari ponselnya. Dia mengambil ponsel dari saku celana dan membaca pesan yang masuk. Itu dari Alisha.

[Udah sampe rumah belum, Farhan?]

Terdiam sejenak, Farhan merenung. Kenapa Alisha begitu peduli padanya? Sedangkan ibunya, yang seharusnya paling dekat dengannya, sepertinya lebih memperhatikan saudara-saudaranya daripada dirinya sendiri. Rasa kecewa dan kesedihan menyelimuti pikirannya. Dia merasa diabaikan oleh orang yang seharusnya paling memperhatikannya.

Farhan jadi merasa terharu dengan kepedulian Alisha, pemuda itu segera mengirim balasan singkat bahwa dia sudah sampai rumah dengan selamat. Tak lama kemudian, ponselnya berdering lagi.

[Istirahat yang cukup, jangan lupa minum obatmu.]

Senyum tipis terukir di wajah Farhan, masih heran bagaimana mungkin kakaknya menyia-nyiakan perempuan sebaik itu.

***

Alisha turun dari angkot, kemudian mekangkah menyusuri trotoar yang mengarah menuju butik tempatnya bekerja. Saat baru masuk butik, Alisha melihat Cantika dan Maya sedang sibuk memasang pakaian desain terbaru pada patung manekin di tengah ruangan.

"Alisha! Kamu telat nih," sapa Cantika sambil tersenyum, sementara tangan kirinya sibuk mengatur kerah blus yang dipasang pada manekin.

Alisha tersenyum sopan, "Maaf, kak. Angkotnya ngetem, jadi agak terlambat."

"Gak masalah, kok. Farhan juga kayaknya belum sampai," kata Cantika sambil memandang sekeliling mencari keberadaan partner kerja Alisha tersebut.

Alisha mengangguk, "Iya, kak. Sekalian aku minta izin buat Farhan, hari ini dia nggak masuk karena semalem dia..." Sebelum Alisha sempat melanjutkan ceritanya, wajah Cantika langsung berubah khawatir.

"Ada apa sama Farhan?" tanya Cantika dengan nada cemas.

Alisha menjelaskan secara singkat kejadian semalam pada Cantika dan Maya. Keduanya tampak terkejut mendengar musibah yang menimpa Farhan.

"Terus gimana keadaan Farhan sekarang?" tanya Cantika cemas.

Alisha mencoba menenangkan Cantika, "Dia udah baik-baik aja, kak. Mungkin cuma butuh istirahat beberapa hari."

Cantika dan Maya mengangguk lega. "Syukur deh kalau gitu. Nanti sore kalo sempet pengen nengokin dia. Pada mau ikut gak?" tanya Cantika. Maya langsung mengangguk setuju. "Boleh."

Cantika langsung menoleh pada Alisha, "Kamu?"

Ekspresi wajah Alisha tanpak berubah canggung saat Cantika menunggu jawabannya. "Maaf, Kak. Aku gak ikut deh— gak enak juga kalo aku ikut."

Saat itu Cantika baru tersadar dengan kesalahannya. "Astaga, sorry banget Alisha. Aku lupa kalau Farhan itu mantan adik ipar kamu, yang masih tinggal di rumah orangtuanya."

"Gapapa kok, Kak," Alisha tersenyum santai. "Kalo gitu, aku langsung ke ruanganku dulu, lanjut kerjaan yang kemarin," pamit Alisha. Cantika mengangguk, "Oke, Alisha. Silakan."

Saat Alisha hendak melangkah menuju ruangannya, namun saat yang sama pintu butik terbuka dengan tiba-tiba. Muncullah Lian yang sedang menggendong Cio, disusul oleh Dion yang mengikuti di belakangnya sambil menenteng goodie bag.

Sorot mata semua orang langsung tertuju pada mereka. Alisha terkejut melihat Dion berada di sana. Dia tidak menyangka bahwa Dion sudah keluar dari rumah sakit. Ekspresi heran tergambar jelas di wajahnya. "Mas Dion, kamu sudah keluar dari rumah sakit?"

Dion tersenyum lebar dan mendekati Alisha dengan langkah ringan. "Iya nih, udah boleh pulang."

Lian segera menyela, "Dion sempat debat sama dokter sih, dia ngotot pengen cepat keluar. Sekarang boleh keluar sih, tapi tetap harus kontrol rutin."

Alisha terdiam bingung. Sementara itu, Cantika mencibir, "Lo emang kepala batu, Dion. Untung aja gue gak jadi nikah sama lo."

Alisha menoleh cepat pada Cantika dan Dion bergantian, seolah kaget jika mereka memiliki hubungan seperti itu di masa lalu. Alisha juga melihat ekspresi Dion yang terlihat sangat kesal saat dia membalas Cantika, "Ngaca! Elo sendiri juga batu! Harusnya gue yang bersyukur gak nikah sama lo!"

Cantika tertawa kecil, "sisi baik yang bisa gue liat dari lo cuma karena lo punya sohib kayak Lian."

"Kalo menurut gue, sial banget Lian dapet bini kek lo! Kesian sohib gue. Harusnya dia bisa ngejar karir jadi dokter hewan, tapi bini egoisnya malah nyuruh momong anak doang," sarkas Dion.

"Lian bahagia aja tuh jaga anak-anak! Lagian anak dia sendiri, bukan anak elo! Trus selama ini gue juga nafkahin dia, lahir batin gue kasih lebih dari cukup."

Mereka berdua terus terlibat dalam perdebatan kocak, yang penuh candaan dan sindiran. Membuat Lian jadi pusing mendengarnya. Terlebih si kecil Cio yang di gendongannya juga seolah ingin ikut-ikutan berdebat, bayi kecil itu turut mengoceh riang, menambah kekacauan di dalam butik.

Lian hela napas, "terusin deh ributnya. Sekalian di depan sana, lebih luas. Jadi kalian bisa bebas baku hantam," sindir Lian lalu melengos pergi ke belakang dengan kesal.

Di gendongannya Cio masih ribut juga, sambil berlonjak-lonjak tidak bisa diam. Lian menggelitiki dagu Cio, "Cio, tenang dong, Nak. Biar mereka ribut, kita santai aja. Yuk, kita main ke belakang, nggak usah ikut-ikutan ribut sama mereka."

Maya dan Alisha yang melihat sikap Lian jadi menahan tawa mereka.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang