Alisha baru tiba di kosnya setelah seharian bekerja. Saat baru saja membuka pagar kos, rasa lelahnya segera tergantikan dengan keterkejutan saat melihat adiknya, Hani, duduk di teras kosan. Hani, yang melihat Alisha pulang, langsung bangkit dan menghampiri kakaknya, memeluknya erat. Alisha membalas pelukan tersebut dengan hangat.
"Hani, kamu kok tau kalo sekarang mbak ngekos di sini?" tanya Alisha heran, karena sebelumnya dia belum cerita apa pun pada adiknya itu.
Tetesan air mata membasahi pipi Hani, dan Alisha merasakan getaran emosional dari pelukan itu. Hani melepas pelukannya, meski wajahnya masih terlihat sedih, "Aku tadi sebenernya dari rumah mertua kamu, Mbak. Aku bener-bener nggak nyangka kalo kamu udah pisah sama mas Faisal."
Hani menatap perut Alisha yang kini sudah terlihat agak membuncit. "Tega sekali mereka, kenapa kamu diperlakukan kayak gini saat kamu lagi hamil?" Air mata Hani turus mengalir deras seolah tak bisa berhenti. "Yang paling aku gak habis pikir, kenapa mas Faisal bahkan nggak tau kamu tinggal di mana setelah kamu ninggalin rumah itu! Apa dia nggak mikir, apa dia nggak khawatir sama keadaan kamu dan anak kamu?"
Alisha tak tahu harus menjawab bagaimana, namun airmatanya mengalir juga. Bahunya sedikit terguncang, menyadari jika selama ini mertua dan mantan suaminya itu benar-benar mengabaikannya.
"Kamu kok bisa tahu, aku tinggal di sini, Han?" tanya Alisha, mengalihkan pembicaraan. Alisha tak ingin menjawab pertanyaan Hani sebelumnya, jika itu hanya menumbuhkan kebencian Hani pada mantan suami dan mertuanya.
"Adiknya Faisal yang ngasih tau..."
"Farhan?" tebak Alisha.
Hani mengangguk. "Aku gak tau lagi kalo tadi nggak ketemu dia, Mbak. Lagian kamu kenapa gak pernah ngasih tau soal masalah kamu sih, Mbak? Bahkan masalah sebesar ini juga kamu nggak cerita."
Alisha merasakan kepedihan dalam kata-kata adiknya. Dia memandang Hani dengan tatapan penuh penyesalan, "Maafin mbak, Hani. Mbak cuma gak pengen bikin kamu khawatir. Apalagi Mbak juga tahu kalau selama ini kamu juga banyak masalah."
Hani mengusap air matanya dengan lembut, "Tapi aku adik kamu, Mbak. Aku bukan orang lain. Meski aku gak bisa banyak bantu, seenggaknya aku pengen kamu bisa berbagi suka duka sama aku. Senggaknya kamu sadar, kalo kamu nggak sendirian."
Alisha mengangguk, merasakan beban yang terangkat dari hatinya. "Makasih, Han. Maaf juga karena selama ini mbak nggak pernah mau berbagi beban sama kamu. Tapi kedepannya, mbak janji bakal lebih terbuka sama kamu."
Hani tersenyum getir, tetapi tatapannya penuh dengan pengertian. Alisha kemudian merangkul Hani, mengajaknya masuk ke dalam kosan agar mereka bisa lebih leluasa saat mengobrol.
Mereka duduk di ruang tamu kosan yang nyaman, cahaya redup menyelimuti ruangan. Awalnya, obrolan mereka ringan, mengingat momen-momen menyenangkan di masa lalu. Namun, ketika Alisha menanyakan kabar Yuga, anak Hani, wajah Hani langsung berubah serius, matanya berkaca-kaca.
"Yuga semakin memburuk, Mbak. Dokter bilang operasinya harus segera dilakukan, tapi biayanya... biayanya sangat besar."
Alisha merasakan kepedihan dalam suara Hani, "Ya Allah, terus gimana? Suami kamu udah ada uang buat biaya operasi Yuga?"
Hani menggeleng pelan, "Belum, Mbak. Aku benar-benar bingung. Bahkan aku sempet kepikiran buat jual rumah warisan kita."
Alisha terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Hani. "Mbak ngerti ini bukan keputusan yang mudah, Hani. Tapi, kalo itu satu-satunya cara buat menyelamatkan Yuga, aku mendukungmu sepenuhnya."
Hani menatap Alisha dengan wajah ragu. "Tapi, mbak, itu juga rumah kamu. Aku takut kamu akan merasa keberatan."
Alisha tersenyum lembut, "Hani, yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Yuga. Aku ikhlas, gak masalah kalo rumah itu kamu jual."
Hani merasa lega mendengar dukungan Alisha, dia kembali memeluk kakaknya dengan erat. "Makasih, mbak."
Alisha merangkul Hani dengan hangat, "Kamu harus tetep semangat ya, semoga setelah operasi nanti, jantung bocor Yuga bisa bener-bener sembuh. Jadi dia bisa main sama temen-temennya yang lain."
"Aamiin..." gumam Hani sambil melepas pelukannya.
"Tapi, setelah rumah itu dijual, kalian mau tinggal di mana?" tanya Alisha.
Hani menarik napas sebelum menjawab, "Aku diajak tinggal di rumah mertuaku di Surabaya, mbak. Rencananya Yuga juga akan dioperasi di sana, di rumah sakit jantung dan pembuluh darah. Aku denger kalo rumah sakit itu bagus buat masalah jantung."
Alisha mengangguk memahami, "Semoga Yuga berjodoh berobat di sana."
Hani tampak sedih, "Maaf, mbak. Saat kamu juga kesilitan gini, aku malah mau pergi jauh ninggalin kamu."
Alisha menggeleng lembut, "Gak perlu minta maaf, Hani. Kita semua punya masalah dan tanggung jawab masing-masing. Aku sepenuhnya ngerti kalo hidupmu juga gak mudah."
***
Nur tengah menyiram tanaman di halaman depan rumah ketika sebuah mobil berhenti di depan rumah. Suara mesin yang baru saja mati segera menarik perhatiannya. Ia menoleh dan senyum saat melihat Cantika turun dari mobil, diikuti oleh Lian yang tampak sedikit kewalahan menggendong Cio yang tertidur pulas.
Di belakang mereka, Maya juga keluar dari mobil, bersama dua anak kecil yang merupakan kakak-kakak dari Cio.
"Kalian siapa ya?" tanya Nur sambil menghampiri mereka.
"Saya Cantika, Bu—"
Mendengar nama Cantika, Nur seolah langsung tahu jika itu adalah nama bos dari Farhan. "Oh, Bu Cantika. Owner dari butik Cantika, kan?"
"Iya, betul, Bu." Cantika dan Nur berjabat tangan sejenak. Cantika juga mengenalkan Lian dan juga Maya pada Nur, sebelum dia menyampaikan maksud kedatangan mereka. "Kami datang buat jengukin Farhan, Bu. Kami sudah denger kalo dia baru aja kena musibah."
Nur mengangguk paham. "Silakan masuk. Farhan ada di dalam," kata Nur, sambil membimbing Cantika dan yang lain untuk masuk ke dalam rumah.
Cantika pun melangkah lebih dulu, diikuti Lian yang melangkah hati-hati karena tidak ingin mengganggu tidur pulas si kecil. Maya menyusul sambil terus menuntun Theo dan Nala.
"Keadaan Farhan sekarang gimana, Bu?" tanya Cantika ketika mereka baru masuk di ruang tamu.
Nur menjawab dengan suara lembut, "Farhan gak apa-apa kok, Bu. Cuma memar-memar dikit."
Lian yang masih sibuk memperhatikan Cio yang tertidur gendongannya, menambahkan, "Tapi Farhan udah dibawa ke rumah sakit kan, Bu?"
"Kata Farhan sebelumnya dia sudah diperiksa dokter," jawab Nur.
Lian baru akan bertanya lebih lanjut, namun saat itu perhatiannya tertuju pada satu arah, di mana Farhan tampak sibuk mengangkat ember berisi cucian basah. Mereka semua kaget melihatnya, kecuali Nur yang merasa tidak enak hati. Maya bertanya dengan heran, "Farhan, kamu kenapa malah sibuk nyuci sih? Bukannya istirahat?!"
Nur cepat menanggapi, "Dia emang paling gak bisa diam. Sudah biasa dia seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Mantan Kakak Ipar
RomanceAlisha mengira jika dia menikah dengan pria yang agamis, maka kehidupan rumah tangganya akan harmonis. Namun tampilan seseorang memang bisa menipu, Faisal Rizqi yang dikenal sebagai guru agama yang sholeh, ternyata pria yang hanya pandai mengaji, na...