Bab 37. Hadiah dari Dion

155 4 0
                                    

Melihat suaminya ngeloyor pergi, Cantika buru-buru menutup perdebatannya dengan Dion, "Balik aja lo! Bikin ribut aja di sini!" Cantika langsung melengos untuk mengejar Lian dan segera menghadang langkahnya.

Dion hanya mendengus. Maya geleng-geleng kapala, seolah sudah terbiasa mendengar perdebatan antara Cantika dengan Dion. Meski begitu ada senyum tipis yang melengkung di bibir Maya, seolah sudah paham jika pertengkaran tersebut tidak serius.

"Yank, kamu capek?" tanya Cantika. Cio di gendongan Lian segera menyahut. "Yank, apek... apek..."

"Ululu... iya, ayah capek. Cio ikut mama ya?" Cantika hendak mengangkat tubuh gemuk putra bungsu mereka, tapi Lian segera menepis tangan Cantika. "Udah, gak usah. Kamu lanjutin aja baku hantam sama Dion."

Cantika berdecak kesal mendengar sindiran itu. "Orang Dion duluan yang mulai."

"Enak aja, lo duluan kali!" balas Dion.

"Udaaah! Serah deh, mau kalian tengkar sampe saling smack down juga, lanjutin aja!" Lian sudah pusing dengan keributan tersebut dan langsung lanjut jalan. Cantika merasa geregetan mendengar jawaban Lian yang acuh tak acuh.

"Yank, beneran capek kamu kayaknya. Yaudah siniin baby Cio, biar dia nenen dulu." Cantika berniat mengambil alih, tapi Cio justru semakin menempel erat pada Lian.

Wajah Cantika menyeringai kesal, merasa kesal ketika Cio lebih memilih dekat dengan Lian daripada dirinya. Dia merasa diabaikan, bahkan ketika ingin merawat dan memanjakan Cio.

Dion, Maya, dan Alisha tertawa kecil melihat tingkah Cio yang enggan berpisah dari Lian. Cantika yang merasa ditertawakan jadi makin kesal. "Cio, awas ya, kalo gak mau sama mama, gak usah nenen lagi."

Cio seolah tak peduli, dan terus menempelkan kepalanya di bahu Lian dengan manja. Bibir mungilnya tertawa-tawa, saat Cantika menggelitiki pinggangnya karena ingin sekali menggendongnya. Lian lanjut melangkah masuk menuju ruangan khusus yang digunakan sebagai kamar pribadi untuk merawat bayi, diikuti Cantika yang terus menggoda Cio.

Setelah Lian dan Cantika tak terlihat lagi, Alisha segera pamit pada Maya. "Aku ke ruanganku dulu ya, Mbak May."

Maya mengangguk. Alisha juga menoleh pada Dion. "Aku tinggal ya, Mas Dion." Alisha segera melangkah menuju ruangannya. Namun, sebelum dia bisa masuk ke dalam ruangan, Dion mengejarnya dengan cepat dan menghentikannya. "Tunggu bentar, Alisha," ucap Dion sambil menyodorkan sebuah goodie bag yang dibawanya.

Alisha terkejut melihat tas tersebut dan bertanya, "Ini apa, Mas?"

Dengan senyum, Dion menjawab, "Buat kamu, anggap aja sebagai ucapan terima kasih."

Alisha terlihat ragu, "Mas, gak usah..."

Dion menggeleng, "Cuma hadiah kecil, terima aja."

Maya ikut membujuk Alisha. "Terima aja sih, Mbak. Mas udah nyiapin khusus buat kamu, gak baik kalo ditolak."

Alisha menghela napas, tapi akhirnya dia menerima tas tersebut dengan senyum. "Terima kasih, Mas."

Dion tersenyum puas, "Sama-sama, Alisha. Semoga kamu suka sama isinya."

"Kalo gitu aku kerja dulu ya, Mas."

Dion mengangguk. Alisha pun langsung balik badan dan berjalan menuju ke ruangannya.

Begitu sampai di ruangannya, Alisha meletakkan goodie bag di laci yang ada di bawah mejanya. Kemudian mulai duduk di depan mesin jahit. Dia mengambil potongan kain blus dari meja di depannya, memperhatikan pola dan ukuran yang telah ditentukan sebelum mulai menjahitnya. Jarum mesin jahit mulai bergerak, mengikuti garis-garis yang telah ditandai. Tangannya terampil memandu kain, menciptakan jahitan yang rapi dan presisi.

Waktu terus berlalu, Alisha akhirnya berhasil menyelesaikan jahitannya. Dia mengangkat hasil karyanya, memperhatikan dengan bangga setiap jahitan yang telah dia buat. Alisha memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum memberitahu Cantika jika blus pesanan klien itu sudah selesai. Sembari istirahat, Alisha iseng membuka laci dan meraih bingkisan yang diberikan Dion.

Ketika dia membuka kotak sepatu, Alisha agak kaget melihat sepatu yang begitu cantik di dalamnya. Senyum pun merekah di wajahnya saat dia mengamati sepatu itu, lalu mencobanya. Sepatu itu pas sekali di kakinya.

Alisha melepas sepatu itu dan menyimpannya kembali dalam dusnya. Saat itu, dia melihat ada sesuatu yang lain di dalam dus tersebut. Sebuah kartu ATM yang ditempeli sticky note bertuliskan nomor pin. Alisha terkejut, memandang kartu ATM tersebut dengan penuh pertimbangan. Lalu, dia meraih kartu itu, membaliknya untuk melihat pesan lain yang tertulis di sticky note. Tulisan itu membuatnya merasa canggung,

[Pakailah saat kamu butuh.]

Alisha menghela napas berat, merasa tidak sepantasnya dia menerimanya. Alisha meremas kartu ATM tersebut, kemudian bangkit dari kursinya. Alisha meninggalkan ruang kerjanya dengan langkah tergesa-gesa, matanya mencari-cari sosok Dion di sekitar butik. Dia mendekati Maya yang sedang sibuk mengatur pakaian di rak dan bertanya dengan cepat, "Mbak Maya, Mas Dion ada di mana? Dia masih di butik, kan?"

"Dia di depan, lagi nunggu taksi online sama Mas Lian," jawab Maya.

Tanpa menunggu lama, Alisha segera bergegas menuju bagian depan butik. Dia berharap bisa menemukan Dion secepat mungkin.

Tiba di depan butik, Alisha melihat Dion sedang menggoda Cio. Kali ini bayi itu berdiri di atas rerumputan taman kecil yang ada di halaman butik. Kedua tangan kecilnya dipegangi oleh Lian, sementara kakinya mulai bergerak pelan-pelan mendekati Dion yang bertepuk tangan di depannya.

"Ayo, jalan terus jagoan om. Ih, pinternya... " seru Dion tampak antusias melihat Cio yang terlihat sangat bersemangat saat belajar berjalan.

Alisha yang melihat mereka sedang asik jadi segan untuk mengganggu, tapi dia merasa harus segera mengembalikan kartu ATM di tangannya pada Dion. Alisha pun memutuskan untuk tetap melangkah mendekat, "Mas Dion," panggilnya pelan.

Dion memalingkan kepalanya dan menyadari kehadiran Alisha. Lian segera mengerti jika Dion dan Alisha butuh ruang untuk bicara berdua. Dengan penuh pengertian, dia langsung mengangkat tubuh Cio untuk menjauh. "Eh, ada balon di depan itu. Yuk, beli balon yuk..."

Setelah Lian menjauh, Dion mendekati Alisha dengan pandangan penasaran. "Ada apa?" tanyanya.

Tanpa banyak basa-basi, Alisha langsung menyodorkan kartu ATM ke Dion. "Mas, aku gak bisa nerima ini."

Dion menggeleng lembut, "Gak baik nolak pemberian orang, kamu ambil aja kenapa sih?"

"Aku terima sepatu dari kamu, Mas. Tapi kalau kartu ATM ini, aku gak bisa. Aku ngerasa gak pantes nerima ini," ungkap Alisha.

"Gapapa, Alisha. Terima aja. Aku ngerti kamu gak suka dikasihani, anggap aja itu ungkapan rasa terima kasih aku," desak Dion. Tapi Alisha tetap menggeleng. "Gak usah, Mas. Lagian aku kan sekarang udah kerja."

"Iya, sekarang kamu emang udah kerja. Tapi kartu itu bisa kamu simpan dulu. Kamu bisa pake kapan-kapan, saat kamu butuh buat biaya lahiran atau apa kek."

"Tapi, Mas—" Alisha hendak mendebat, tapi Dion segera menyela, "kalo kamu gak mau nerima, yaudah kamu buang aja."

Alisha akhirnya diam setelah Dion memberi penegasan. Alisha jadi merasa tidak enak hati, karena membuat Dion merasa tersinggung. "Maaf, Mas. Aku bukannya nolak pemberian kamu. Aku cuma ngerasa gak enak aja nerimanya. Maaf kalau mas Dion jadi tersinggung. "

"Aku nggak tersinggung, Alisha. Tapi tiap kali aku ngasih sesuatu, aku nggak akan ambil lagi. Jadi kalo kamu tetep mau balikin, mending kartunya aku buang," ucap Dion.

Alisha menghela napas panjang. "Kalo gitu, makasih banyak mas. Aku bakal simpan ini."

Dion tersenyum lega, kemudian mengangguk. "Sama-sama."

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang