⚔️_30_⚔️

123 18 4
                                    

Heesa tiba-tiba terbangun dari tidurnya, rasa haus mendatanginya, saat ia melihat ke arah jam, ternyata masih jam 2 pagi. Dengan hati-hati ia memindahkan tangan Jungwon yang memeluknya erat, digantikan dengan bantal guling. Pria itu sedikit terusik, tetapi tetap melanjutkan tidurnya.

Setelah berhasil, Heesa pun keluar kamar tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Netranya tak sengaja menangkap sebuah pintu ruangan yang terletak dipojok lantai 2 kediaman rumah keluarga Park. Senyum Heesa terbit melihatnya, sudah lama ia tidak mendengar suara ketikan jari pada laptop yang sering ia dengar saat berada di rumah ini.

Akhirnya, gadis itu berniat untuk turun ke bawah, mengambil minuman untuk dirinya dan juga membuatkan segelas kopi untuk sang ayah. Dengan takaran bubuk kopi dan juga gula yang selalu ia ingat, ia membuatkan kopi itu dengan sepenuh hati.

Dan ketika sudah selesai, gadis itu membawa nampan itu dengan hati-hati, menuju ruangan yang pintunya terbuka. Tak bisa mengetuk pintu, kepalanya ia timbulkan lewat celah pintu.

"Ayah, Heesa masuk ya?" ucapan tersebut membuat pergerakan tangan Hyungsik yang sedang mengetik berhenti. Ia mengulas senyumnya melihat siapa yang masuk ke ruangannya sekarang.

Heesa masuk ke dalam ruangan itu, mulutnya terbuka melihat beberapa gelas kopi yang tinggal ampasnya saja, berjajar rapih pada meja lebar yang tidak jauh dari meja kerja Hyungsik, "Kayaknya Heesa salah bawa minuman," ucapnya menatap polos beberapa gelas kopi yang ada diruangan itu. Hyungsik terkekeh kecil, ia kemudian bangkit dari tempat duduknya, mengambil kopi yang dibuatkan oleh anaknya.

"Ayah, ayah gak boleh minum kopi banyak-banyak," Heesa berniat mengambil kembali gelas yang dipegang oleh Hyungsik, tapi Hyungsik menggeleng, menolak.

"Ayah mau minum kopi buatan anak ayah lagi, udah lama gak minum," Heesa tersenyum tipis dan melirik laptop yang menyala diatas meja kerja ayahnya itu.

Dengan pelan ia menuntun sang ayah untuk duduk kembali ke tempatnya. Heesa pun memijat bahu ayahnya itu pelan dengan posisi berdiri dibelakang kursi yang diduduki sang ayah, "Masih banyak yang belum selesai, yah?" Hyungsik tersenyum dengan perilaku anaknya itu.

"Sedikit lagi. Heesa gak tidur?" Heesa menggeleng, walau Hyungsik tidak bisa melihat, "Heesa kebangun tadi, sekarang belum ngantuk," Hyungsik mengangguk mengerti.

"Tadi... Kamu beneran gak apa-apa?" nada Hyungsik terdengar khawatir, walau saat mendengar kabar tadi dirinya sangat marah dan ketika berkumpul tadi pria paruh baya itu terlihat tenang saja, padahal ia sangat mengkhawatirkan kondisi anaknya itu.

"Kan tadi Heesa udah bilang, Heesa gak apa-apa kok. Heesa kan kuat, berani juga! Lawan yang kayak tadi mah kecil," jawab Heesa tak ingin ayahnya terlalu mengkhawatirkannya.

"Ayah... Bener-bener takut, Sa," Heesa terdiam, ia tahu, ayahnya pasti sekarang sedang teringat sang bunda, "Saat Songkang ngabarin kalo kediaman kamu habis diserang, buat ayah nostalgia, ketika ayah dulu dikabarin kalo rumah kita diserang, dan bunda gak selamat," Heesa mendongakkan kepalanya, air matanya hendak jatuh mengingat saat-saat itu. 

Heesa ingat kejadian sebenarnya dan sangat berbekas di memorinya, yaitu ketika dirinya masih berumur 5 tahun, rumahnya diserang oleh sekelompok orang yang ia kenal, dan di dalam rumah itu hanya ada dirinya, sang bunda, dan beberapa maid. Saat itu, penjagaan tidak seketat sekarang, karena Hyungsik saat itu belum diumumkan secara resmi untuk menjadi penerus Bloody Party, jadi hak keistimewaannya belum diberikan. Dan penyerangan itu membuat semuanya kehilangan nyawa mereka, kecuali Heesa. Heesa dibawa oleh sang bunda untuk bersembunyi di dalam lemari gudang dirumahnya yang untungnya saat itu sang musuh tidak menarinya sampai kesana.

Heesa masih bisa mengingat dengan jelas, ucapan terakhir sang ibunda yang mengatakan, "Heesa, kita mau main petak umpet sama ayah, dan kalau kedengeran teriakan bunda, itu artinya bunda ketangkep. Supaya kita bisa menang, Heesa tetep disini sampai ayah yang buka ya?" Heesa masih ingat bagaimana senyuman sang bunda yang mengatakan itu. Karena setelah itu, sang ibunda meninggalkannya dan tak lama setelah itu terdengar teriakan kesakitan sang ibunda dan juga menyebut sebuah nama, "Seojoon," Hyungsik langsung menoleh ke sang anak yang sudah dibanjiri air mata, rupanya niat Heesa untuk menahan tangisannya, gagal.

"Kenapa, Sa?" sayangnya, Hyungsik tak mendengar ucapan anaknya itu, Heesa menggeleng dan buru-buru menghapus air mata yang keluar membasahi pipinya, "Ayah sekarang gak usah khawatir. Heesa beneran kuat kok, Jungwon aja sampe kagum sama kekuatan Heesa," ucap Heesa menyombongkan diri. Ia kemudian pindah ke sebelah ayahnya itu memegang lengan lembut sang ayah.

"Heesa, akan dan selalu baik-baik aja, karena banyak yang jagain Heesa, ayah, Jungwon, papa Jaejoong, Karina, Giselle, Liz, Chaehyun, Bloody Party, masih banyak lagi. Jadi, yang perlu ayah lakuin sekarang, jaga kesehatan ayah, jangan banyakin minum kopi loh. Biar nanti kalau anak Heesa udah lahir, ayah bisa gendong dia sama ajak dia main. Tapi jangan diajarin pegang pistol dulu kayak Heesa waktu kecil ya?" tawa Hyungsik lepas saat itu juga, ia kemudian merentangkan tangannya dan memeluk tubuh anaknya itu.

"Ayah sayang Heesa," ucap Hyungsik mengusap surai Heesa sayang, "Heesa lebih sayang ayah," 

Setelah acara yang sedikit menguras tangisan itu, Heesa kembali ke kamarnya. Ia mengambil ponsel miliknya yang ada diatas nakas dan pergi ke balkon kamarnya. Tangannya bergerak untuk menghubungi salah satu nomor yang ada di handphonenya.

"Hallo, Sa? Kenapa, nih? Tumben nelfon duluan," senyum tipis tergambar diwajahnya.

"Seung, Lo mau bantu gue gak?" tanyanya tiba-tiba. Heeseung, pria yang ditelfon oleh Heesa mengerutkan dahinya bingung.

"Sure, anything. Apa itu?" Heesa melirik Jungwon yang masih terlelap diatas kasur.

"Gue mau Lo cari orang yang namanya, Seojoon, Park Seojoon,"

"Seojoon?"

"Iya, bajingan yang buat bunda gue meninggal," Heeseung langsung menegakkan badannya, ia tahu cerita tentang masa lalu kelam yang Heesa ceritakan kepadanya saat mereka masih menjadi sepasang kekasih dulu, "Gue baru inget sekarang karena ayah tadi baru ngungkit kejadian itu setelah sekian lama. Nama itu, nama yang sering diteriakkin bunda saat itu, Park Seojoon. Kenapa gue baru inget sekarang..." ucap Heesa lirih, merasa kesal, mengapa ia baru ingat kejadian yang sangat penting itu sekarang?

"Tolong... temuin bajingan itu, akan gue buat dia menyesal, walaupun nyawa gue taruhannya,"

[S3] Mafia || Yang Jungwon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang