Beberapa menit sebelum Satya menjelaskan keadaan yang sebenarnya ke Viola. Ia membawa Viola ke kafe sebelumnya. Mereka duduk tanpa sepatah kata.
"Kamu mau minum apa? Aku yang bayar," tawar Satya.
"Seperti biasanya," jawab Viola yang masih enggan menatap Satya. Pria itu mengembuskan napas dengan gusar lalu memanggil pelayan.
"Mbak, kami pesan ice americano dua," ucap Satya lalu si pelayan pun mencatatnya. Pelayan tersebut mengulangi lagi pesanan dan setelah dirasa tidak ada tambahan lagi si pelayan pamit pergi.
Keheningan menyelimuti. Baik Satya maupun Viola sibuk dalam pikiran masing-masing. Sejujurnya, Viola ingin mengatakan isi hatinya, tetapi egonya yang tinggi membuatnya mengurungkan niatnya. Satya melirik Viola lalu berdeham untuk mencairkan suasana yang canggung.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Satya sekadar basa-basi.
"Baik. Kalau kamu?" Viola menjawab dengan ketus tanpa melihat ke arah Satya sedikit pun.
"Kalau bicara tatap lawan bicaramu, Vi," tutur Satya dengan tegas.
Viola dengan ketus berkata, "Bukan urusanmu, Mas."
Satya menghela napas. Ia tak tahu harus menjelaskan dari mana. Kepalanya sudah dibuat pusing oleh kerjaan kantor, tetapi sekarang bertambah tentang memperbaiki hubungannya dengan Viola.
"Viola," panggil Satya.
"Hm," sahut Viola.
"Aku ingin-"
"Permisi, ini pesanan, Anda," potong seorang pelayan sambil meletakkan dua gelas di meja. "Silakan dinikmati." Setelah itu, si pelayan pergi meninggalkan mereka.
Viola mengaduk minumannya, sedangkan Satya tampak gelisah sembari mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Hal itu membuat Viola merasa terganggu.
"Apa yang mau kamu katakan? Cepat katakan! Aku tidak punya banyak waktu," cecar Viola dengan kesal, ia memutar bola matanya.
"Aku ingin meluruskan semuanya." Tangan kekar Satya meraih tangan mulus Viola lalu mengenggamnya dengan lembut. "Kamu salah paham selama ini," lanjutnya.
"Apa maksudmu?" Viola menaikkan satu alisnya dengan bingung.
"5 tahun lalu pria yang kamu lihat bersama banyak wanita bukan aku melainkan adikku, Surya," jelas Satya yang membuat Viola semakin bingung.
"Apa yang kamu bicarakan? Jelas-jelas pria itu mengakui dirinya adalah kamu bahkan mengatakan namanya adalah Satya Adwira," elak Viola yang masih tidak percaya.
"Tidak, dia berbohong. Sama seperti Claudia, kamu juga salah mengenali suamimu ini dengan kembarannya," lontar Satya yang membuat Viola semakin tidak percaya. Ia menggeleng sambil meracau tak jelas.
"Apa 12 tahun saat acara pernikahan kita kamu lupa wajah saudaraku?" tanya Satya dengan intonasi tinggi yang membuat Viola terlonjak.
Viola tak menyangka Satya akan berkata dengan nada tinggi kepadanya. Padahal selama ini pria di hadapannya ini bertutur kata lembut bahkan sikapnya. Viola menyadari jika dirinya benar-benar belum sepenuhnya mengenali Satya. Itu juga berlaku pada Satya. Pria itu juga tidak sepenuhnya mengenali Viola. Sudah lama saling mengenal sejak kuliah tak membuat mereka mengerti satu sama lain.
"Maaf, maaf telah meninggikan suara kepadamu. Aku tak bermaksud begini," lirih Satya. Bahunya yang lebar itu bergetar dan Viola tahu pria itu tengah menahan tangis.
"Tidak apa. Aku baik-baik saja," balas Viola sambil menyeka wajahnya dengan tisu. Hampir saja dirinya menangis karena baru kali ini ia dibentak oleh Satya.
"Jadi, maksudmu pria malam itu adalah Surya?" Viola bertanya kembali untuk memastikan lalu Satya mengangguk.
"Begitu, ya." Viola menundukkan kepalanya sembari menutup mulutnya. Bulir-bulir air mata jatuh begitu saja. Satya menyadari jika Viola tengah menangis karena mendengar isak tangisnya. Ia juga merasa atensi pengunjung lainnya mengarah ke mereka.
"Ini salahku juga karena terlalu sibuk bekerja," ucap Satya sambil menundukkan kepala. Ia sudah tak peduli tatapan para pengunjung yang menatap mereka dengan tatapan bingung sembari berbisik.
"Tidak, ini salahku karena tidak bertanya," lirih Viola dengan napas tersengal-sengal.
Hati Satya sakit melihat Viola menyalahkan dirinya padahal dirinya juga salah karena tidak menjelaskan dan hanya sibuk kerja. Katakan saja dirinya gila kerja sampai lupa anak dan istri di rumah. Jadi, wajar Viola pergi meninggalkannya.
Netra Satya meneliti Viola lalu menunduk ke bawah meja. Ia terkejut melihat wajah Viola apalagi lendir yang sudah mengotori wajah cantiknya. Satya sampai sulit mempercayai orang yang duduk di depannya ini masih istrinya atau bukan.
"Maaf. Maafkan aku, Sayang." Viola menutup wajahnya dengan tangannya lalu napasnya naik turun karena tak dapat menahan tangisannya.
"Tidak, ini juga salahku. Maafkan aku sudah membuatmu seperti ini," lirih Satya. Ia bangkit dari kursi lalu berjalan ke kursi Viola. Tangan kekarnya memeluk Viola dari belakang sembari mengucapkan kata maaf.
Tentu saja, pelukan tiba-tiba itu membuat Viola terlonjak. Matanya menelisik dan menemukan banyaknya pengunjung bahkan karyawan kafe berbisik sembari tersenyum. Dapat Viola tebak apa yang orang-orang tersebut bisikkan tentang dirinya dan Satya.
Viola tiba-tiba berdiri yang membuat Satya yang memeluk sembari mendusel-dusel di leher Viola malah terdengar benturan keras. Viola mengusap bagian belakang kepalanya, sedangkan Satya meringis sakit sambil mengusap dagunya. Mata Viola melebar saat melihat dagu Satya terluka. Dengan cepat, ia memeriksanya.
Viola tampak panik, sedangkan Satya malah bersikap santai. Walaupun sakit, tetapi bagi Satya ini hanyalah luka kecil. Viola meminta pelayan untuk membungkus minumannya lalu mereka bergeas ke rumah sakit untuk mengobati luka Satya. Di sisi lain, keempat karyawan kantor mereka; Zahra, Ara, Delson, dan Marcel diam-diam memerhatikan.
"Ara, bagaimana? Kamu sudah menyerah?" tanya Delson sambil menyeruput minumannya.
"Iya, lagian Satya adalah adik iparku ternyata," jawab Ara sambil tersenyum kecut.
"Eh, kenapa bisa?" tanya Zahra sambil menautkan alisnya.
"Karena suamiku, Satria dari keluarga Adwira dan keluarga Adwira ku dengar masih kerabat dari keluarga Jaya," jelas Ara yang membuat ketiga temannya membulatkan matanya.
"Lantas siapa yang membunuh suamimu? Bukannya orang itu mengatakan pelakunya adalah keluarga Jaya?!" Zahra berkata dengan nada tinggi yang membuat semua atensi tertuju kepada mereka.
"Diamlah, Zahra," tegur Marcel. Zahra cengar-cengir sambil menunjukkan deretan giginya.
"Aku merasa ada seseorang yang menipuku demi sesuatu," gumam Ara sambil mengigit jarinya.
"Itu tidak mungkin," lirih Delson tak percaya.
"Lagian orang gila mana mau membunuh seorang keturunan konglomerat?" tanya Marcel dengan alis bertaut.
"Red blood."
Atensi mereka berempat tertuju kepada salah seorang anak remaja yang sedang menatap mereka dingin. Marcel bertanya siapa dirinya lalu sosok itu menjawab.
"Aku Revano."
Wah dah bab 20 ayo, bisa sampai tamat🔥 seperti biasa jangan lupa vote dan komen, ya.
See you...💃

KAMU SEDANG MEMBACA
I Found You
RomantiekClaudia dan Christian sepasang suami-istri yang sedang menantikan anak, tetapi suatu hari saat Claudia berniat menemui Chris ia terkejut melihat suaminya berjalan dengan seorang wanita. Claudia yang merasa sakit hati melihat itu akhirnya kabur tanpa...