bab 30

29 15 0
                                    

"Anda ... Arfan Mahesa?" Surya melebarkan mata. Ia tidak menyangka anak remaja di depannya saat ini adalah pewaris Mahesa group di masa depan.

"Paman, aku masih anak-anak. Tidak perlu formal padaku," ujar Arfan dengan kesal karena Surya malah bersikap formal padanya.

"Ah, maaf. Silakan duduk, Tuan muda Mahesa," balas Surya sembari berdeham sesaat lalu mempersilakan Arfan untuk duduk.

"Jadi, Paman kenapa meminta bertemu?" tanya Arfan. Surya sudah menduga Arfan tidak akan basa-basi.

Anak ini sebenarnya umur berapa? Kenapa berbeda sekali dengan anak seumurannya, batin Marcel.

"Apa kamu tahu tentang red blood?" Surya bertanya dengan raut wajah serius. Pria itu tak bisa tinggal diam jika ada yang mengancam keluarganya.

Butuh waktu baginya menyelidiki dalang kematian ayahnya dan kakak tertuanya, Satria. Apalagi sampai berbohong kepada Ara. Sungguh mengesalkan. Sebab itu, Surya berpikir hanya satu orang yang bisa memberitahunya walaupun Arfan masih muda. Namun, anak itu tidak perlu diragukan koneksinya.

"Sebelum aku menjawab, aku tanya terlebih dahulu. Kenapa Paman Surya Adwira malah meminta bertemu denganku ketimbang anggota keluargaku lainnya?" Arfan menyeringai yang membuat Surya menelan ludahnya susah payah.

Dahi Surya berkerut. Pria itu tahu pertanyaan Arfan adalah jebakan padahal dialah yang sebenarnya memberikan pesan kepadanya. Seolah sudah mengetahui niat Surya ingin datang menemui keluarga Mahesa. Zahra menatap keheranan. Pasalnya, Surya mengatakan bahwa Arfan-lah yang meminta bertemu, tetapi kenapa Arfan malah berbalik bertanya.

"Nak, kamu benar masih berumur 14 tahun? Sudah jelas pesan semalam darimu, kan? Aku takkan terjebak dengan pertanyaanmu," sangkal Surya dengan dingin.

Arfan menyunggingkan senyuman. Anak laki-laki itu tertawa kecil seraya berkata, "Lupakan saja. Lagian kalian pasti tidak bodoh sampai kena tipu oleh anak kecil sepertiku, kan?"

Delson ingin sekali memaki Arfan, tetapi dia masih sayang nyawa. Walaupun masih anak-anak, tetapi Arfan itu berbahaya. Sekali dia mengadu ke ayahnya pasti posisi Delson tidak aman.

Bocah kematian, batin Delson.

"Aku tahu tentang red blood karena mereka yang sudah membunuh kedua kakakku," kata Arfan dengan dingin. Sorot matanya memancarkan kebencian dan amarah membuncah.

Surya mendapat rumor bahwa Arfan Mahesa dididik keras oleh orang tuanya hingga mental dan perasaannya hampir mati. Akan tetapi, keberadaan kakaknya masih bisa menekan dan mempertahankan sisi kemanusiaan Arfan. Namun, kematian kedua kakaknya karena melindunginya mempengaruhi mentalnya. Ditambah lagi, ia harus menjadi pewaris karena posisi pewaris keluarga Mahesa kosong.

Tekanan dari keluarga Mahesa telah mendorong Arfan ke dasar kegelapan tanpa cahaya. Dia yang seharusnya bermain bebas malah terkekang oleh tuntutan keluarga yang menjadikannya sosok sempurna.

Tidak heran jika sikapnya begini. Tempat ia dibesarkan saja sudah seperti penjara, batin Surya.

Arfan memanggil pelayan dan memesan jus anggur. Surya memerhatikan gerak-gerik Arfan yang menoleh ke kanan dan ke kiri. Pria itu menebak Arfan pasti takut diracuni lagi karena kejadian seminggu lalu. Ia diracuni makanan di pesta ulang tahun ibunya. Sedari Arfan lahir saja, banyak kejadian yang mengancam nyawanya.

Surya mengerti posisi Arfan karena mengalaminya juga. Terlahir di keluarga kaya tak menjamin kehidupan bahagia karena ada harga untuk kehidupan ini. Orang-orang dari kalangan menegah dan bawah tidak akan mengerti. Bukannya sombong, tetapi kalangan atas pun memiliki kesulitan. Uang bisa dicari, tetapi kebahagiaan dicari di mana? Masa kecil direbut, bergemilang harta tak menjamin kebahagiaan, dan bahaya yang tak tahu kapan datang.

Keberadaan red blood saja membuat Surya waspada. Ia berpikir keberadaan mereka akan membawa malapetaka mulai dari sekarang. Jika keluarga Mahesa saja bisa dibunuh maka keluarga konglomerat lainnya pun bisa dibunuh juga. Pertanyaannya adalah siapa sosok dibalik red blood dan apa rencana mereka?

"Jangan terlalu dipikirkan karena mereka saja tidak diketahui keberadaannya," ucap Arfan seolah tahu apa yang dipikirkan Surya.

Tak lama kemudian, seorang pelayan membawakan pesanan. Ternyata kelima orang dewasa itu juga memesan.  Akan tetapi, bukan itu yang membuat Arfan terkejut malah sebuah nasi goreng untuknya padahal ia hanya memesan jus anggur.

"Kalian yang pesan?" terka Arfan. Sontak kelima orang itu mengangguk tanpa ragu. Padahal mereka tahu Arfan sangat waspada kepada orang yang baru ditemuinya apalagi memberikanya makanan. Pasti mikirnya ada racun.

"Nggak ada racunnya itu, makanlah. Kamu masih anak-anak jadi perlu makan banyak untuk pertumbuhanmu," ujar Surya, "lagian aku tidak seberani itu meracunimu karena keluarga kami memiliki kerja sama dengan keluargamu, Nak." Surya memasukkan sesuap nasi campur ke dalam mulutnya tanpa memedulikan tatapan Arfan.

Dengan keraguan menyelimuti Arfan, ia memasukkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya. Benar saja, tidak ada racunnya. Akan tetapi, Arfan tetap waspada kepada kelima orang dewasa di hadapannya.

15 menit kemudian, mereka selesai makan dan hanya saling bertatap-tatapan. Ara merasa kesal karena malah diam tanpa obrolan. Akhirnya, ia berinsiatif membuka obrolan duluan.

"Jadi, katakan apa kaitan red blood dengan kematian Satria?" tanya Ara.

"Singkat saja, keberadaan red blood yang mengancam kita sebagai keluarga konglomerat termasuk orang biasa, tapi memiliki hubungan dengan target. Pasti ada alasan kenapa orang yang memberitahumu bahwa keluarga Jaya yang membunuh Satria padahal Satria masih bagian keluarga Jaya," jawab Surya.

"Benar. Mereka ancaman dan harus disingkirkan. Kalian tahu kenapa red blood terlahir?" Arfan menyeruput jus anggurnya dengan santainya tanpa memedulikan tatapan penasaran mereka.

"Kenapa?" tanya Zahra dengan kesal karena sikap Arfan. Antara Arfan sengaja memancing emosi mereka atau mau menghabiskan minumannya.

Arfan menyadarinya lantas menerbitkan senyuman tanpa dosa. Jangan tanya lagi, seberapa kesalnya Zahra karena sikap Arfan yang menjahilinya.

"Anak ini!" pikir Zahra dengan kesal sampai dahinya berkerut. Ketiga temannya menatap malas Zahra karena wanita itu terpancing padahal sudah tahu tabiat seorang Mahesa adalah mempermainkan lawan bicaranya bahkan tidak memandang umur dan status. Itulah keluarga Mahesa.

"Red blood terlahir dari kesalahan mereka. Pemimpinnya mengira kitalah keluarga konglomerat mengkhianatinya padahal karena dirinya sendiri, dia jatuh sendiri. Karena kesalahannya sendiri yang tidak dia sadari malah membunuh orang tak bersalah," jelas Arfan. Surya tahu, Arfan sedang menahan emosinya. Terdengar jelas dari nada bicaranya yang rendah, tetapi berat.

"Apa kalian butuh lainnya?" tanya Arfan, "aku mau pulang."

"Tidak ada," jawab Surya dengan cepat.

"Baiklah, terima kasih atas taktirannya, Paman." Arfan lantas bangkit dari kursi lalu berpamitan dengan sopan. Ia melangkah pergi meninggalkan restoran dan memasuki sebuah mobil mewah berwarna hitam.

"Kekayaan keluarga Mahesa tak bisa diukur, ya," gumam Marcel sambil memerhatikan mobil mewah itu sampai meninggalkan area parkir.

"Benar," timpal Surya.

"Dia sudah pergi. Jadi, aku jawab saja. Aku menolak hak aku sebagai istri dari Satria Adwira," ucap Ara tiba-tiba.

Heyyo~ apa kabar? Semoga baik, ya. Seperti biasa jangan lupa follow, vote, dan komen, ya.

See you next time...👋🏻

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang