bab 19

48 21 0
                                    

"Satya," panggil Viola dengan ketus. Satya menoleh menatapnya sembari menaikkan satu alisnya.

"Kita perlu bicara berdua saja," ucap Viola dengan tegas.

Satya menghela napas lalu beralih menatap Andre. "Nak, kamu di sini saja Papa dan mama mau keluar bicara sebentar."

Andre menganggukkan kepala lalu mereka berdua keluar ruangan dan pergi ke tempat sepi. Calvin tahu betul mereka mau membahas apa. Jadi, sekarang ia hanya fokus ke orang tuanya yang menatapnya terus.

"Aku sudah menjelaskan semuanya. Sekarang yang terpenting adalah cara Chris sembuh dan memperbaiki hubungannya dengan Claudia," jelas Calvin, "lalu berhenti menatapku seperti penjahat saja diriku."

Romi mengembuskan napas dengan gusar. "Memang, tapi apa kamu sudah menemukannya?"

Calvin bungkam. Matanya menelisik yang membuat Romi mengangkat alisnya. Ia tahu putra sulungnya ini tahu dan menyembunyikan sesuatu darinya.

"Kamu menyembunyikan sesuatu dari Papa?" Romi bertanya dengan tatapan mengintimidasi. Calvin meneguk salivannya saat matanya bersitatap dengan Romi. "Jawab! Calvin!"

"Sudahlah. Tidak perlu memaksanya jika Calvin belum mau memberitahu, dia pasti memiliki alasan." Anita menasihati Romi sambil menepuk pundaknya.

Romi berdecak dengan kesal. Ia juga tak dapat berbuat apa-apa di saat genting begini. Putra dan menantunya sakit, ia tidak tahu siapa orang yang menyakiti keluarganya, dan cucunya. Romi berbalik badan lalu matanya memandang lurus ke Raden. Putra Chris itu susah sekali diajak bermain padahal sudah lama ia ingin bermain dengan anak putra keduanya.

"Kenapa pula anak ini persis dengan ayahnya? Kan, aku jadi kesusahan mendekatinya," pikir Romi sembari mengingat dirinya yang dulu kesulitan mengasuh Chris.

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Akan tetapi, ketahuilah lakukan cara yang sama kamu lakukan ke Chris dulu pasti dia juga begitu. Buah itu tak jatuh dari pohonnya," bisik Anita. Romi teringat caranya mendapatkan hati Chris kecil sampai anak itu menempel kepadanya.

"Chris, nggak mau main sama Ayah?" Romi yang sedang mengajari Calvin berhitung bertanya kepada Chris dengan lembut.

"Tidak," tolak Chris, "Chris mau sama mama." Chris berbalik badan lalu kaki kecilnya melangkah mencari Anita. Romi melongo karena Chris masih enggan bersamanya bahkan sejak lahir, Chris tidak suka digendong Romi. Selalu saja menempel kepada Anita.

Sangat berbeda dengan Calvin. Anak sulungnya itu mau ke Romi ataupun Anita dia mau ikut. Itu pun sesuai mood-nya. Romi beralih menatap Calvin yang masih asyik berhitung.

Padahal mereka anak kembar, batin Romi. Ia mendekati Calvin lalu lanjut mengajarinya. Setelah itu, mereka pergi jalan-jalan sekeluarga. Ketika itulah, Anita mendorong Romi untuk mendekati Chris pelan-pelan dan membiarkan mereka berdua. Kesempatan emas membuat Romi menggebu-gebu dan tidak akan melewatkannya. Ia mendekati Chris yang sedang bermain ayunan.

"Chris," panggil Romi.

"Kenapa?"

"Kamu mau Papa ajarkan bermain sepeda? Kata mama kamu pengen naik sepeda," tutur Romi dengan lembut. Sebisa mungkin ia bersikap lembut dan tidak berekspresi datar. Karena kata Anita hal yang membuat Chris enggan bermain dengan Romi adalah dirinya yang sulit berekspresi.

"Mau. Papa bisa mengajariku?" tanya Chris dengan pelan.

"Tentu saja," jawab Romi dengan riang. Hal itu membuat Chris terlonjak karena baru kali ini, ia melihat ekspresi gembira papanya. Chris mengulum senyum tipis lalu turun dari ayunan.

"Ayo, Pa, ajarkan aku sekarang," ujar Chris penuh semangat. Romi terkekeh pelan lalu mereka menyewa sepeda di taman. Romi mengajari Chris menaiki sepeda walaupun Chris selalu terjatuh, tetapi Romi tetap mendukungnya dan mengajarinya. Dari kejauhan, Anita yang sedang mengajari Calvin merangkai bunga tertawa kecil kala memerhatikan interaksi Romi dan Chris.

Kenangan manis yang sulit dilupakan. Romi pun berinisiatif mendekati Raden. Ia dengan senyuman terlukis di wajahnya menyapa Raden yang membuat Raden menatapnya bingung.

"Namamu siapa?" tanya Romi dengan seulas senyuman.

"Raden," jawab Raden sembari memalingkan wajah. Romi terkekeh pelan karena melihat reaksi Raden yang menggemaskan.

"Raden, suka sepeda atau lainnya? Nanti Kakek ajarkan," ucap Romi. Namun, sepertinya Raden tidak tertarik malah mengacuhkannya. Romi tidak putus asa lalu terbesit ide di kepalanya.

"Kamu mau tahu tentang ayahmu?"

Benar saja, pertanyaan itu sukses menarik perhatian Raden. Mata anak itu berseri-seri seolah sudah menantikannya. Romi tahu betul pasti Raden selalu mempertanyakan seperti apa sosok ayahnya karena Claudia pasti tidak akan menceritakannya. Mengingat Claudia sendiri salah paham terhadap Chris.

Romi pun menceritakan karakter Chris yang tidak beda jauh dengan Raden dan masa kecil orang tuanya bahkan ketika Romi mengajari Chris naik sepeda saat berumur 7 tahun. Raden tampak antusias mendengarkan dan lainnya hanya tersenyum. Mellisa yang duduk di samping bankar Claudia terkejut saat merasakan ada tangan mengenggam tangannya. Atensinya tertuju kepada sosok tersebut dengan penuh harap. 

"Ibu," panggil Claudia dengan lirih. Mellisa mengatupkan mulutnya dan tak dapat menahan air mata bahagianya saat melihat putri semata wayangnya membuka matanya.

Tentu saja yang lainnya juga terkejut. Raden dengan cepat mendekati Claudia. "Ibu, tidak apa-apa? Ada yang sakit?"

Claudia menggeleng. Ia berusaha bangun lalu dibantu oleh Mellisa duduk. Tangannya terulur membelai kepala Raden. Tatapan matanya melembut lalu mengecup keningnya.

"Raden, mereka ini adalah—"

"Keluarga Ibu. Raden sudah tahu," potong Raden.

"Nak, jangan potong kalau orang tua Raden bicara, ya." Mellisa berpesan dengan lembut lalu Raden mengangguk paham. Atensi Raden tertuju ke bankar samping Claudia. Sejujurnya, ia sangat ingin bermain dan bercerita banyak kepada Chris. Akan tetapi, kondisi Chris belum sembuh dan masih belum sadarkan diri. Claudia menyadari ke arah mana tatapan putranya.

"Ibu tahu. Kamu selalu ingin bertemu ayahmu dan bermain," kata Claudia, "maka dari itu, kamu bisa menangis sepuasmu. Jangan ditahan, Nak. Berekspresilah seperti anak seusiamu," sambungnya.

Akhirnya, Raden tak dapat menahan tangisannya. Bulir-bulir air mata membasahi pipi dan dadanya merasa sesak. Claudia mendekapnya sembari mengelus punggungnya. Ia merasa telah menjadi ibu yang jahat karena menjauhi putranya dari ayahnya dan telah menjadi istri durhaka karena telah mencurigai suaminya.

Chris, kembalilah, batin Claudia.

***
Di lain tempat, Viola membulatkan matanya setelah mendengar penjelasan Satya. Mulutnya terbuka sedikit dan air mata jatuh begitu saja membasahi pipi.

"Maaf. Maafkan aku, Sayang." Viola menutup wajahnya dengan tangannya lalu napasnya naik turun karena tak dapat menahan tangisannya.

"Tidak, ini juga salahku. Maafkan aku sudah membuatmu seperti ini," lirih Satya. Ia bangkit dari kursi lalu berjalan ke kursi Viola. Tangan kekarnya memeluk Viola dari belakang sembari mengucapkan kata maaf.

Kok malah jadi sedih, sih? Dahlah. Jangan lupa vote dan komen, ya.

See you...😘

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang