Warning‼️
Mengandung adegan kekerasan dan sesuatu sensitif⚠️
"Red blood?"
"Iya, mereka berbahaya. Sebaiknya, kalian jangan berurusan dengan mereka," jawab Revan sembari berdiri, ia merapikan pakaiannya lalu beranjak pergi.
"Tunggu!" Marcel berlari mengejar Revan, tetapi anak itu tak ditemukan. Entah langkahnya yang cepat atau langkah Marcel yang lambat.
"Di mana anak itu?" tanya Delson yang berhasil menyusul Marcel.
"Dia sudah pergi," balas Marcel. Ara dan Zahra juga berhasil menyusul Marcel merasa kecewa karena kehilangan anak tersebut.
"Aish, padahal ada yang mau kutanyakan," gumam Ara sambil mengibaskan rambutnya ke belakang.
"Red blood ... aku tidak asing dengan nama itu," lirih Zahra yang membuat perhatian ketiga temannya terpusat kepadanya.
"Apa maksudmu?" Marcel bertanya dengan mengerutkan dahinya menatap Zahra.
Angin berembus dengan lembut menerpa wajah mereka. Zahra menyisiri helaian rambutnya ke belakang sembari melirik Marcel. Mulutnya terbuka mengatakan sesuatu yang membuat mata mereka terbelalak.
"Apa? Siapa yang kamu maksud? Tidak mungkin! Jelas-jelas mereka mengatakan Satria mati dibunuh keluarga Jaya!" Seru Ara dengan mata berlinang. Tatapan tak percaya dan dirinya terus meracau tak jelas membuat Zahra merasa muak.
"Sadarlah, Ara! Hal mustahil keluarga Jaya membunuh karena mereka masih kerabat!" bentak Zahra yang membuat Ara terdiam. Zahra melangkah mendekati Ara lalu memegang pundaknya sembari menatapnya lekat.
Ara menelan salivannya kala bersitatap dengan Zahra. "T- tidak, ini pasti hanya ...."
"Hanya apa? Aku tanya! Aranita, kamu ditipu," lontar Zahra dengan nada rendah. Bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi Ara dan napasnya naik turun. Ia menggeleng tak percaya lalu Zahra melepas peganggannya. Beralih menarik tubuh Ara ke dalam pelukannya.
"Sudahlah. Semua akan baik-baik saja," bisik Zahra sambil mengusap punggung Ara.
Dari kejauhan, sosok berjubah hitam memerhatikan sedari tadi. Baru saja, ia melaporkan ke atasan tentang pergerakan Zahra.
"Nona Zahra dari keluarga Santika. Keluarga yang telah dihancurkan oleh Bos," gumamnya. Tiba-tiba kerah bajunya ditarik oleh seeeorang dari belakang.
Sosok berjubah terus memberontak tuk dilepaskan, tetapi si pelaku enggan melakukannya. Dirasa sudah cukup jauh si pelaku menghempaskan ke tanah si berjubah hitam. Sosok itu bangkit sembari menatap tajam orang yang telah menyeretnya, sedangkan pelaku yang menyeretnya berdiri dengan angkuh sambil menatap dingin ke arahnya.
"Siapa kamu?!" Si berjubah menunjuk orang di hadapannya dengan menggunakan jari tengah.
"Siapa aku? Katakan salamku kepada Bosmu kalau aku menantikan balas dendam ini. Ah, kalaupun kamu masih hidup." Tudung jaket yang menutupi wajahnya sedari tadi terbuka sedikit menampakkan wajahnya sedikit membuat sosok berjubah hitam melebarkan matanya kala melihatnya.
"Tidak mungkin! Kamu Ar—" pisau yang dipegang oleh sosok memakai jaket dilayangkan tepat di mata si pemilik jubah. Pria berjubah itu mengerang kesakitan sambil memengang matanya yang mengalirkan darah cukup deras.
Ia melirik anak remaja di hadapannya dengan tubuh bergemetaran. Tatapan dingin nan menusuk tengah menatapnya. Sangat ia kenali siapa pemilik mata elang itu. Mulutnya ingin melontarkan sepatah kata, tetapi ketakutan kala bersitatap dengannya membuat nyalinya menciut.
"Kamu pasti tidak percaya, kan? Anak keluarga itu ternyata masih hidup padahal kamu berpikir telah berhasil membunuhnya," ucapnya sembari tertawa dengan bercak darah di wajahnya. Kakinya melangkah dengan tatapan mengitimidasi dan dengan angkuhnya kaki satunya, ia angkat lalu menginjak pergelangan tangan sosok pria berjubah tersebut. Hal itu membuatnya menjerit kesakitan, tetapi anak remaja laki-laki itu tak memedulikannya malah semakin brutal melakukannya.
"Saudara-saudara dan generasi sebelumnya kamu bunuh dengan keji bahkan bayi yang baru saja lahir. Bagaimana, ya, jika suatu saat kamu memiliki seorang anak kulakukan hal serupa di depan matamu! Sama seperti yang kamu lakukan di depanku ketika membunuh adikku!" Tangannya mencekeram leher si pria membuatnya kesulitan bernapas. Pria itu memohon agar dilepaskan, tetapi si remaja laki-laki tak mendengarkan. Satu pukulan mendarat ke perutnya lalu kakinya dipatahkan. Jeritannya yang terdengar pilu dan terus memohon agar dirinya dilepaskan.
"Tuan muda, aku mohon ... hentikan. Aku ... kesakitan," lirihnya dengan lemah.
"Revan," panggil seorang gadis sambil berjalan menghampiri Revan. Hentikan, dia bisa mati," lanjutnya.
Raden melirik sekilas lalu berbalik pergi meninggalkan tempat tersebut. Si gadis menggelengkan kepala sembari berdecak kesal. Berniat mengejar Revan, tetapi erangan si pria berjubah menarik perhatiannya. Ia menoleh sekilas lalu melangkah mendekat.
"Biar aku memberitahumu satu hal, Tuan. Aku bukan menolongmu, tapi aku ingin melihat apakah kamu bisa pulang dengan selamat atau dibuang oleh sosok yang selama ini kamu angungkan itu," katanya dengan nada mengejek. Gadis itu berbalik badan lalu pergi meninggalkannya seorang diri.
"Aku ... apa yang telah kuperbuat? Aku tak pantas hidup," lirihnya dengan derai air mata membasahi pipi. "Apa aku akan mati?" Ia membatin sebelum kehilangan kesadaran, ia melihat seorang anak laki-laki melangkah mendekatinya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Arfan, sudah Kakak bilang jangan pergi sendirian!" Seorang anak remaja perempuan berlari mendekat sambil menggengam tangan Arfan.
"Tapi, Kak, dia—"
"Kamu nggak mau kena marah ayah, kan? Kamu membolos sekolah! Soal dia biar bodyguard yang urus," potongnya lalu mereka pergi meninggalkannya.
Sesaat Arfan menoleh ke belakang menatap sosok pria itu dengan datar lalu beralih menatap sosok lain yang berdiri di atas atap. Seketika tatapan Arfan menjadi tajam lalu ia bergumam, "Pembalasan dendam."
Richard yang menunggu Arfan menggerutu ketika matanya menangkap sosok Arfan yang cengar-cengir. Mereka berdua pun pulang karena tertangkap telah bolos sekolah padahal sebagai calon pewaris mereka harus menjaga sikap. Namun, mereka malah melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Sosok yang ditatap Arfan tadi kini menyelamatkan pria berjubah lalu membawanya ke rumah sakit. Dalam perjalanan, pria itu terus memikirkan anak yang berani menatapnya.
"Siapa anak tadi? Perasaanku tidak enak," gumamnya sambil fokus menyetir. Sesampainya di rumah sakit, sosok pria berjubah ditangani dengan cepat. Untungnya, nyawanya tidak terancam, tetapi ia telah menjadi cacat dan harus menggunakan kursi roda.
"Aish, kenapa menjadi begini? Eh." Netranya tidak sengaja menangkap sosok Calvin dan Satya bersama. Ia berdiri dari kursi dengan tatapan tak percaya.
"Kenapa mereka di sini? Lalu sebenarnya apa yang telah terjadi? Aku merasa sesuatu akan terjadi," lirihnya. Ia benar-benar tidak tahu apa-apa. Apalagi ia merasa dirinya telah dimanfaatkan. Matanya menyipit saat melihat orang yang menjadi mata-mata untuk membunuh Christian. Tampak ia ketakutan membuatnya melangkah mendekat.
"Hei, kamu kenapa?"
"Ah, aku ingin berhenti. Aku tak menyangka kita selama ini ditipu olehnya demi keuntungannya. Sekarang aku tidak memiliki apa-apa," jawabnya dengan terbata-bata.
"Sudah kuduga. Orang dipanggil Bos itu ternyata hanya janji palsu dan memojokkan kita," ucapnya sambil mengepalkan tangannya.
"Terus, sekarang bagaimana?"
"Bagaimana lagi, kalian harus tanggung jawab," celetuk seseorang yang membuat kedua pria itu menoleh ke arahnya.
"Tidak mungkin, Anda?"

KAMU SEDANG MEMBACA
I Found You
RomanceClaudia dan Christian sepasang suami-istri yang sedang menantikan anak, tetapi suatu hari saat Claudia berniat menemui Chris ia terkejut melihat suaminya berjalan dengan seorang wanita. Claudia yang merasa sakit hati melihat itu akhirnya kabur tanpa...