Warning: Toxic area!!!
Angin malam menampar wajahku dengan kencang, hampir menumbangkan tubuh dan hatiku yang sedang goyah. Dari sini aku melihat ribuan lampu yang menyinari kota Jakarta sementara aku merasa tak ada setitik pun cahaya yang menerangi jiwa. Aku mulai naik ke pembatas beton.
Setelah berdiri dengan kedua kaki di atas pembatas, yang berada di rooftop rumah sakit. Aku memejamkan mata sambil mengembuskan napas dari mulut. Selamat tinggal dunia.
GREP!
"Sialan, Jennie!" umpat seseorang.
Kedua kakiku ditarik ke belakang, sehingga aku terjengkang dan jatuh di pangkuan Jerico, wajahnya terlihat marah dan aku langsung menangis sejadi-jadinya.
"Udah gue bilang, JANGAN BUNUH DIRI LAGI!" bentaknya, di depan wajahku. "Lo budek, hah? Kapan lo mau dengerin gue, Jenn?"
Jerico menurunkan kakiku, meski begitu, dia tetap memeluk tubuhku dengan sangat erat.
"Gue gak akan pernah biarin," katanya, lebih kepada dirinya sendiri, "kalaupun mati, lo akan tetep jadi milik gue."
Aku berontak dan membuat pelukan Jerico melonggar, mendongak, "Gue ngerasa hidup di neraka sejak kenal sama lo. Lebih baik gue mati daripada harus selalu liat lo. Lo jahat!"
Jerico menunduk menatapku, sebelah tangannya menyingkirkan poni di keningku, "Yang jahat di sini tuh elo, Jenn. Selama ini gue cuma minta satu, elo jadi boneka penurut buat gue. Itu doang. Elo yang banyak tingkah dan saat lo nerima akibatnya, elo malah nyalahin gue. Sampe kapan lo mau kayak gini, Jenn?"
Kini aku jadi gagap. Tidak tahu harus menjawab apa pada Jerico. Kurasa dia ... benar.
"Gue takut papah kenapa-napa," tuturku.
Jerico melepasku dan aku segera duduk di beton, membenamkan wajah di atas lutut. Kini baru benar-benar kurasakan bahwa udara begitu dingin dan aku menggigil.
"Mulut lo besar banget ya, Jenn," komentar Jerico, sinis. "Gue pikir kita udah damai dengan lo minta maaf, tapi hari ini lo nantang gue lagi."
Jerico terus menyalahkan aku.
"Andai lo tetep diem, ngikutin alur yang udah gue bikin, papah lo gak akan jadi korban sifat egois lo," geramnya.
"Cukup!" teriakku. "Elo juga ngebohongin gue masalah dikucilin di kelas."
Aku berusaha mencari celah, tidak mau disalahkan dalam kecelakaan yang dialami papah, dan Jerico melihatnya lalu membuatku patah. Bagiku Jerico adalah penjahatnya tapi baginya aku juga penjahatnya. Lalu siapa yang lebih baik di antara kita di saat tak ada kebaikan di sisi manapun.
"Gue cuma gak terima, kalo lo punya temen baru tapi gak inget gue siapa," ujar Jerico.
Aku memandangnya heran, menyuruh, "Liat lo sekarang. Lo punya circle dan intinya, elo keren. Gue rasa lo tau itu karena elo populer di sekolah, di media, dia majalah, elo ada di mana-mana. Karena elo Jerico Amartha."
Jerico berkata dengan ambisius, "Justru itu intinya yang bikin gue muak sama lo. Dengan profil gue yang sempurna, lo masih gak lirik gue sedikit pun. Saat kecil lo dengan seenaknya ngelupain gue dan sekarang lo gak mau kenal sama gue. Gue bener kan, Jenn?"
Aku langsung menjatuhkan tatapan ke sandalku. Tidak mengerti Jerico berkata apa. Apakah dia ingin agar aku segera mengingatnya karena kami berteman saat TK?
"Sekarang setelah gue inget siapa elo," ujarku tercekat, "lo udah bukan Je yang gue kenal lagi. Dulu, meski lo marah elo tetep gak pengen gue luka. Tapi sekarang lo ngelukain gue abis-abisan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Tiriku Villain
Teen FictionAda banyak alasan kenapa Jerico melakukan hal hina itu pada Jennie, akan tetapi Jennie tidak pernah sampai pada kesimpulan kalau ternyata Jerico sangat mencintai dirinya. Bahkan perasaan Jerico pada Jennie dimulai sedari mereka kecil. Saat Jerico te...