42. Tangan yang Terbuka

760 110 28
                                    

Lalu datang kau yang unik
Kau temani aku jalan pelan
Berdampingan tidak buru-buru gandeng tangan

Aku pernah kehilangan
Ketakutan lalu kau tenangkan
Bahwa itulah bagian
Dari cara hidup berpasangan
.
.
Sal Priadi - Dari Planet Lain
.
.
.
.
.
.

"Gimana cara Mami ngasih ruang baru di hati Mami buat Papi tanpa menghilangkan Papa Fahmi?"

"Didi, Tuhan ngasih kita hati yang luas sekali untuk mencintai. Kalopun kita merasa kurang, yang membatasi hanya pikiran kita. Didi tau? Waktu dilahirkan, kita cuma punya orang tua sebagai dunia kita. Mata dan hati kita hanya tertuju sama mereka. Kalo mereka nggak ada, kita bisa nangis terus. Makin dewasa kita makin paham, ada banyak bentuk cinta. Ke keluarga, sahabat, bahkan orang yang nggak dikenal sekalipun.

"Kita bisa mencintai orang tua dan pasangan sama besar. Kita bisa menyayangi anak-anak kita sama besarnya, berapapun banyaknya. Yang membedakan hanya prioritasnya. Kalau kita mendahulukan salah satunya, bukan berarti lebih sayang atau cinta, tapi di waktu itu, memang dia prioritasnya.

"Begitu juga ketika Tuhan menakdirkan jodoh kita tidak sampai seumur hidup. Nggak ada yang mau ditinggalkan orang yang kita cintai, Di, tapi itulah takdir. Mami tetap mencintai kenangan Mami dengan Papa Fahmi. Tapi Mami menerima takdir untuk hidup dengan Papi. Mami harus melanjutkan hidup dengan menyimpan cinta untuk Papa Fahmi dalam hati dan mencintai Papi sepenuh hati.

"Mungkin terkesan serakah. Mami pun pernah berpikir seperti itu. Mami pernah hampir membuang semua kenangan tentang Papa Fahmi demi bisa mencintai Papi sepenuhnya. Tapi semua memang butuh proses, butuh penerimaan, pengertian, dan perjuangan. Baik Mami, maupun Papi sama-sama berusaha untuk saling memahami.

"Selama kita hidup di dunia, kita berhak menikmati anugerah Tuhan di dunia, Di. Termasuk segala bentuk cinta yang datang untuk kita."

***

"Ini Pak Dosen luang banget ya waktunya? Ngalahin ibu rumah tangga yang kerjanya suka-suka kayak aku. Gabut, Pak?" Celetukan Milly membuat aku melirik Gandhi yang ternyata juga menatapku, kemudian kami terkekeh bersama.

"Kebetulan lagi dikasih waktu ngurusin proposal penelitian sama persyaratan pendaftaran, Mil. Kemarin habis diskusi sama Prof. Heri juga. Jadi bisa agak lama di Bandung." balas Gandhi sembari menyimpan makan siang yang baru saja diantar perawat.

"Kebetulan yang pas ya. Jadi bisa nemenin Didi terus di sini. Udah oke nih kayaknya. Ya, Di?" Aku tahu ucapan Milly hanya bermaksud menggodaku, jadi tidak aku tanggapi serius.

"Oke apa sih, Mil?" balasku seadanya.

Dari Gandhi aku jadi tahu, kedatangannya di malam aku dilarikan ke rumah sakit memang sebuah kebetulan. Gandhi yang siangnya mengikuti simposium Ikatan Dokter Anak Indonesia di Bandung, bertemu dengan Papi yang menjadi salah satu pembicara di sana. Dari Papi juga, Gandhi mendengar kalau aku masih sakit sehingga berinisiatif untuk menjenguk selesai acara.

Selama sakit, aku memang jarang membalas pesannya. Dia hanya tahu aku sedang sakit dan tidak banyak berkata selain berpesan agar aku beristirahat dengan cukup. Setibanya di rumahku, Gandhi bahkan lebih dulu mengajak anak-anak bermain, karena saat dia datang aku masih tidur. Namun lama-kelamaan dia merasa khawatir ketika aku yang tadinya tidur siang bersama anak-anak belum juga bangun, padahal hari sudah malam. Dan berakhir dengan membawaku ke rumah sakit karena kondisiku yang memburuk.

Selama tiga hari dirawat, Gandhi selalu menyempatkan diri untuk datang menemaniku yang lebih sering ditemani perawat. Aku tidak tega meminta Mami atau Papi menemani di sini, jadi hanya sesekali saja keduanya menjenguk. Sedang asisten di rumah aku minta untuk fokus menemani Danta dan Divya. Keduanya tidak aku izinkan menjenguk, tapi kami rutin melakukan panggilan video setiap waktu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang