41. Meluruh

592 109 29
                                    

Jika malam datang dan takut menyerang
Kau genggam apa yang kuragukan

Tiada yang bilang badainya kan reda
Berhadapan dengan cahaya yang kerap membutakan
Tiada yang bilang jawaban kan datang
Jauh dari seram yang selama ini telah kubayangkan
Semua aku dirayakan
.
.
Nadin Amizah - Semua Aku Dirayakan
.
.
.
.
.
.

Salah satu yang paling aku jaga selama lima tahun kehidupanku tanpa Yudhis adalah kesehatanku. Aku sudah membutuhkan banyak orang untuk menjaga anak-anak, jadi tidak perlu merepotkan lebih banyak orang lagi hanya untuk mengurusi aku jika sakit. Namun, aku masih manusia biasa yang bisa kelelahan, terkena virus, dan berakhir tidak bisa turun dari tempat tidur.

Awalnya aku merasa masih bisa istirahat di rumah ketika diagnosis demam tifoid tegak. Aku makan dengan baik, juga minum obat dan tidur teratur. Bagaimanapun, di rumah aku masih bisa mengawasi anak-anak dan tidak membuat orang lain repot untuk menungguku di rumah sakit. Namun ketika makin hari aku makin lemah, Papi dan Mami mulai mendesak agar aku ke rumah sakit.

Aku masih bertahan dengan keinginanku dirawat di rumah. Kupikir, meminta perawat datang ke rumah hingga infus terpasang di tangan, bisa membuat segalanya membaik. Sayangnya, sudah hampir satu minggu dan tubuhku makin melemah.

"Mami minta ambulance jemput ya, Di? Mami khawatir lho ini." Aku masih ingat bujukan Mami pagi itu hanya aku tanggapi dengan penyangkalan.

"Sebentar lagi enakan kok, Mi."

Hingga entah apa yang terjadi, di antara sadar dan tidak, aku merasa tubuhku menggigil. Seingatku, aku baru saja tidur siang bersama anak-anak tadi. Namun anehnya aku tiba-tiba terbangun karena guncangan di tubuhku dan suara panik Gandhi di telingaku. Mengabaikan kebingungan kenapa Gandhi ada di kamarku, aku lebih bingung lagi saat kamarku sudah begitu terang karena lampu dan anak-anak yang sudah tidak berada di sampingku.

"Di, kamu dengar aku? Buka mata dulu kalo iya! Didi!"

Aku mengernyit karena kencangnya suara Gandhi, ditambah lagi mataku yang begitu berat terbuka, membuat aku merasa pening ketika mendapati silau. Apakah ini sudah malam? Karena tadi ketika aku tidur siang jendela kamarku masih terbuka.

"Gandhi, ambulance-nya udah datang." Samar-samar aku mendengar suara Mami sebelum suara Gandhi kembali menarik perhatianku.

"Kita ke rumah sakit ya, Di."

Tidak menunggu jawabanku, seketika tubuhku terasa melayang begitu saja. Kesadaranku masih hilang-timbul saat aku ingat tubuhku dimasukkan dalam ambulance, kemudian dipindah ke ranjang lain sebelum masuk ke bangsal perawatan keluarga. Aku masih bisa merasakan nyerinya ketika beberapa kali tubuhku terkena jarum, entah untuk mengambil darah atau menyuntikkan sesuatu. Sampai akhirnya aku merasa kembali tertidur.

Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku tertidur, yang pasti ketika bangun, keriuhan sebelumnya sudah menghilang berganti sepi. Meski masih merasa lemah, aku sudah bisa membuka mata dengan jelas hingga bisa melihat Gandhi yang tertidur di sofa tidak jauh dari ranjangku juga selang-selang yang menempel di tangan dan hidungku.

Aku menebak-nebak apa yang terjadi sebenarnya karena jika hanya demam tifoid, seharusnya tidak separah ini. Kecuali virusnya menyebar kemana-mana. Namun sebelum aku menemukan jawaban, aku harus lebih dulu mencari air minum karena tenggorokanku rasanya tidak nyaman dan menyebabkanku terbatuk.

"Didi?" Gandhi bangkit dari sofa kemudian mendekatiku, sepertinya suara batukku menganggu tidurnya. "Kamu kebangun?"

"Aku mau minum, nggak enak." tanganku menyentuh leher.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang