" Academy Exam "
"Sial. Dia pasti benar-benar sudah gila."
Ini pertama kalinya baginya untuk menggerutu sepanjang lorong perjalanan menuju ruang kerjanya. Pria itu, Orter Madl, seisi pikirannya benar-benar meluap terkuras habis oleh argumen dengan gadis yang rahasianya kini menjadi tanggung jawabnya.
Dia membuka pintu ruangannya dengan sedikit kasar dan menutupnya keras. Langkah kakinya membawanya untuk segera duduk dikursi kerjanya. Tumpukan dokumen itu tidak ada habisnya.
Dia meraih kacamatanya dan melepasnya. Perlahan, telapak tangannya bergerak mengusap wajahnya. Dia terdiam. Keheningan melanda. Tanpa aba-aba, rona merah itu meledak di wajahnya.
"... Ini sangat memalukan."
Orter menyembunyikan wajahnya yang meledak-ledak dengan rona merah di balik telapak tangannya. Pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu, terbayang-bayang dibenaknya bagaimana cara gadis itu mengatakannya secara terus terang.
Dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, berusaha menenangkan diri. Sejenak dia mendapat momentum ketenangan itu. Tetapi... rona merah yang lebih padat kembali meledak di wajahnya.
"Dia pikir aku ini wanita...?" Gumamnya kesal, penuh rasa malu. Wajahnya terasa begitu panas. Dan dia tidak bisa mengendalikannya.
Rona merah itu menjalar ke telinga dan tengkuknya. Bahkan ia tidak mampu menggunakan tangannya untuk menulis penyelesaian dokumennya saat itu bergetar begitu hebat.
Pada akhirnya dia membiarkan gadis itu membawa botol susunya saat ke Akademi nanti. Membayangkan subtitusi dari opsinya— "Berhenti memikirkannya, Orter," Ucapnya pada dirinya sendiri.
Tubuhnya terjengit saat serangan rona merah yang menggelitik itu kembali memenuhi wajahnya.
"Sialan... aku tidak bisa bekerja!" Dia menempelkan dahinya di atas meja. Tidak tahu apa yang harus dia lakukan dalam situasi ini. Terkutuklah untuk gadis itu yang membuatnya meledak-ledak seperti ini.
***
Keesokan harinya, Orter menatap penampilan gadis itu dari atas hingga bawah. Memastikannya rapih dan tidak ada satupun noda di kemejanya.
"Kamu akan menggunakan sihir teleportasi untuk ke sana. Aku yang akan mengantarmu karena kamu tidak bisa menggunakan sihir teleportasi dunia ini," Ucap Orter sambil membenarkan letak kacamatanya.
"... Lalu, di mana barang bawaanmu yang lain? Kenapa kamu terlihat tidak membawa apa-apa selain tekad dan diri?" Tanya Orter.
[Name] merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu botol susu, "Ini saja. Aku bisa menggunakan ranting pohon untuk tongkat sihir. Ah, dan kuharap akan ada bahan-bahan untuk membuat susu di dapur Akademi nantinya..."
Orter menepuk dahinya sendiri. Dia sudah menduganya. Dia tidak bisa mengharapkan apapun -apalagi kedamaian- dari gadis di depannya ini.
"Terserah. Aku akan mengirimkan surat mingguan padamu dan pastikan membalasnya. Lalu, jangan terlalu merepotkan teman-temanmu nantinya," Ucap Orter.
"Baik."
Dia benar-benar penurut, tetapi penurut yang tidak bisa dipercaya kata-katanya.
Orter menghela napas sekali lagi, "Jika membutuhkan sesuatu, kirim aku surat. Atau masukkan itu di balasan suratku nantinya."
[Name] mengangguk. Orter pun mau tak mau harus mempercayai gadis ini. Dan gadis ini harus mempercayainya untuk menemukan jalan keluar baginya dari dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
- 'M A S H L E
FanfictionBiasanya, buku romansa atau fantasi bertema reinkarnasi berakhir dengan tokoh utama yang mati dan berpindah tubuh menjadi anak-anak. Tetapi terjadi sedikit kontras di sini- dicerita ini. Seorang balita berumur 5 tahun yang bereinkarnasi ke tubuh re...