" Is He... Crying? "
Ini lebih seperti pertarungan dua pihak melawan satu pihak. Terlebih Orter terlihat sangat tenang dan memilih untuk mengamati pola serangannya, Famin merasa jijik dengan itu. Dia tidak menyukai pria yang tidak bisa diajak bermain-main seperti Orter.
Ada disaat di mana Famin menjatuhkan kacamata Orter. Mata Orter terlihat mengecil dan aneh. Minus yang sangat buruk. Kutu buku sejati.
"Pft— HAHAHA! Matamu mengecil, Orter!"
Ledekan [Name] tidak Orter pedulikan. Pria itu terus berusaha menahan serangan Famin sambil melindunginya, tidak membiarkan gadis itu bergerak satupun dari tempatnya. Dia hanya tidak ingin gadis itu terluka. Tidak saat dia berada di depannya.
"Kau naif sekali. Berpikir bisa melawanku saat fokusmu terbagi menjadi dua? Melawan dan melindungi gadis itu?" Cemooh Famin.
Orter tampak tidak terpengaruh dengan cemoohan itu. Dia hanya menaikkan sedikit letak kacamatanya, "Tidak masalah. Aku kuat. Jadi aku bisa menangani ini."
Famin merasa kesal dengan jawaban optimis Orter. Famin terus melancarkan serangan sementara Orter mulai menguasai medan pertempuran. Intuisnya tajam dan dia bisa dengan mudah mengetahui pola serangan musuh yang berhadapan dengannya.
Orang cerdas itu mengerikan.
"Yah, terserah. Sulit untuk melukaimu saat kau sudah memahami trik sihirku. Tetapi bagaimana dengan ini?" Tiba-tiba Famin mengarahkan serangan kartunya ke arah [Name].
Mata Orter terbelalak. Dia tahu kartu-kartu itu akan menembus perisai sihir pasirnya. Tidak ada pilihan lain— sebelum kartu Famin melukai tubuh sang gadis, Orter berdiri di depannya dan membuat kartu-kartu itu menusuk punggungnya.
"Kau tidak perlu melakukan itu untukku..." Ucap [Name] datar. Lagipula dia ini mayat hidup. Dia bisa beregenerasi. Tapi terima kasih untuk Orter yang sangat ingin melindunginya.
"Diam." Orter terengah-engah. Darah segar menghiasi punggungnya yang terbalut rapih dengan kemeja putih dan vest hijaunya, "Kau hanya perlu diam. Tidak perlu bertanya banyak hal. Aku... hanya ingin melindungimu."
"Baik. Serang dia, bos!"
Guratan merah muncul di pelipis Orter. Gadis ini selalu berhasil merusak apapun suasananya.
Pertarungan Orter dan Famin berlangsung sengit. Famin yang menggunakan trik sulap dan Orter yang menggunakan analisis serta kecerdasannya. Hasil pertarungan ini sudah terlihat jelas.
Mungkin saja jika Famin tidak membuang waktu, Famin berkesempatan menang. Tetapi, Famin sudah memberi Orter waktu terlalu lama untuk memahami pola serangannya.
Dan Famin kalah dengan telak.
Tubuh Orter terjatuh berlutut di lantai, napasnya memburu. Dia harus segera menuju pertarungan selanjutnya yang menunggu di depan sana. Kekuatan sihir Orter yang menurun membuat [Name] bisa keluar dari lilitan pasir Orter.
"Capek ya? Kasihan."
Sialan.
Orter menghela napas dan kembali bangkit dari posisinya. Tangan besar pria itu menggenggam erat tangan gadis di sebelahnya. Menariknya pelan mengikuti jalan untuk menuju pertarungan akhir.
"Orter. Jangan mati. Kamu seperti akan mati detik ini juga."
Gurata merah kembali muncul di pelipis Orter, "Aku tidak."
"Iya. Kau iya."
"Aku tidak ingin berdebat denganmu saat ini. Jadi diamlah."
"Kita sudah sampai berada di titik ini. Tetapi bagaimana jika Innocent Zero tidak terkalahkan? Maksudku— bahkan dia masih memiliki anak tertua di sana," Ucap [Name].
Orter hanya menganggap ucapan gadis itu sebagai angin lalu dan tetap menariknya berjalan ke depan sana. Entah membawa mereka kemana.
"Bagaimana jika semua ini sia-sia?"
Seketika langkah Orter berhenti. Tatapan pria itu dingin dan menusuk, "Apa maksudmu?"
"Pasti harapanmu untuk mengalahkan Innocent Zero. Bagaimana jika itu gagal?"
Genggaman tangan Orter padanya semakin erat. Pria itu terlihat sangat... marah. Marah terhadap kata-kata pesimis yang dilontarkan gadis itu. Tetapi sepertinya tidak sepenuhnya itu yang menjadi alasan kemarahannya.
".... Kau tidak mengerti apa-apa, diamlah."
"Kau sangat pemarah hari ini—"
"Diam! Sudah kukatakan untuk diam!" Orter muak. Dia tidak ingin mendengar sepatah katapun lagi dari gadis itu, "Kau tidak tahu apa-apa karena kau memang tidak! Apa kau bahkan memikirkan perasaanku?!"
Pria ini lepas kendali. Dia menjadi terlalu emosional. Kedua tangan pria itu menahan bahu [Name] bergitu keras.
"Berhentilah mengatakan hal-hal pesimis tidak berguna. Kau tahu kenapa aku melakukan sejauh ini meski aku tahu mungkin ini bukan panggung utamaku— mungkin ini hanya panggung tempat di mana peranku berakhir?" Orter menggigit bibir bawahnya frustasi, "... Itu karena aku ingin melindungimu. Karena aku ingin melihatmu hidup dan bahagia. Karena aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu."
"Alasan itu sudah cukup bagiku untuk tidak berhenti bertarung. Bahkan jika nyawaku taruhannya."
Orter meraih tangan gadis itu dan mencium buku-buku jadinya, "Lebih baik aku gila karena ini daripada aku menjadi gila karena melihat kematianmu."
Orter berani mengatakan hal ini. Berteriak melepaskan emosi dan kekhawatirannya selama ini. Melepaskan perasaannya yang terkekang. Dia tidak tahu apa yang menunggunya sepuluh langkah di depan sana, atau bahkan lima langkah setelahnya.
Jika itu kematian, dia tidak ingin menyesal. Dia tidak ingin merutuki kematiannya hanya karena alasan bahwa dia belum mengatakan semuanya kepada gadis itu.
Karena itulah dia tidak akan menahannya.
Orter menghela napas, meletakkan telapak tangan [Name] di dadanya. Membuat gadis itu merasakan betapa hebat detak jantungnya berdetak. Debaran yang mengalun begitu indah dengan sebuah kontak.
"Kau merasakannya?" Tatapan Orter melemah.
"Itulah yang kau lakukan padaku," Lanjutnya.
[Name] tidak bisa berkata-kata. Ah. Orter juga tidak bisa berkata-kata. Pria itu terlalu dimabuk cinta, terombang-ambing bersama debaran asing di dadanya. Dia melembut.
"Ayo pergi."
Orter kembali menarik gadis itu menuju tempat pertarungan mereka selanjutnya. Tidak akan pernah melepaskan genggaman tangan mereka. Pada akhirnya dia hanya pengecut. Dia hanya mengatakan kekhawatirannya, tetapi mengatakan tiga kata penuh makna itu begitu sulit.
Karena kata-kata itu membawa perubahan, konsekuensi yang begitu berat.
Dan Orter tidak bisa menghadapinya.
Sekalipun benak pria itu selalu berputar kembali memikirkannya. Sekalipun hati pria itu selalu mendengungkan kata hatinya bahwa dia benar-benar sangat jatuh cinta. Terlalu jatuh hingga dia tidak sanggup untuk berdiri lagi.
Dia menggosok pelan matanya. Alis [Name] berkedut pelan melihat sosok pria di depannya, "Kamu menangis?"
"Tidak."
"Eh? Cengeng."
— Nellswtars —
15 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
- 'M A S H L E
FanfictionBiasanya, buku romansa atau fantasi bertema reinkarnasi berakhir dengan tokoh utama yang mati dan berpindah tubuh menjadi anak-anak. Tetapi terjadi sedikit kontras di sini- dicerita ini. Seorang balita berumur 5 tahun yang bereinkarnasi ke tubuh re...