Bab 21

5 2 0
                                    

Cakra memandang kosong jalanan yang ia lalui dengan perlahan-lahan ia berjalan namun tiba-tiba berhenti, begitu saja dari tadi hingga Cakra belum sampai ke rumah sekarang, ia masih berada di sekitar rumah Alura.

"Cakra tunggu! "

Mata Cakra membulat lebar, ia sontak menoleh ke belakang. Tidak ada siapapun, yang ada hanya daun yang berguguran di terpa angin kencang. Cakra mengacak rambutnya kesal, apa yang sedang ia pikirkan sehingga mendengar suara Alura memanggilnya tadi.

Langkah Cakra berputar menuju pohon besar, di depan pohon itu Cakra mendudukkan dirinya. Ia sebenarnya merasa malas untuk pulang secepat ini, ia ingin menenangkan dirinya yang dari kemarin belum terima dengan semua hal yang terjadi.

Cakra menghembuskan napas panjang, di saat seperti ini biasanya ia dan Alura sedang ada di taman melihat bunga-bunga yang bermekaran setiap minggunya, entahlah Alura terlihat sangat kekanakan menurut Cakra hingga menunggu bunga itu bermekaran, namun sifat kekanakan itu tidak membuat Cakra risih, ia justru bahagia melihat senyum mengembang di bibir Alura saat bunga mawar mekar sangat indah.

Duar...

Cakra tersentak kaget, ia menatap ke langit. Terlihat langit saat ini sedang mendung seperti akan turun hujan.

"Cakra! "

Cakra tidak menoleh lagi, karena ia merasa bahwa orang yang memanggilnya barusan adalah sekedar khayalan yang baru saja terjadi, tidak mungkin Alura datang menemuinya di saat cuaca sedang mendung.

"Cakra! " Teriakan itu kembali terdengar, di sertai dengan suara langkah kaki yang mendekat. Namun Cakra masih diam, ia masih tidak ingin menoleh karena takut semuanya hanya khayalan. "Gila kali gue, bisa-bisanya dengar suara dia terus. "

"Cakra! Lo budeg ya! " Langkah kaki itu berhenti. Cakra saat ini dapat melihat jelas sepasang kaki yang berdiri di depannya dengan takut-takut Cakra menoleh ke atas, dan seseorang yang tidak ia harapkan benar-benar ada saat ini di depannya.

Wajah Cakra berubah datar. "Ngapain kesini? Lo enggak lihat sebentar lagi mau hujan! " geram Cakra.

Alura tidak menjawab, ia memilih duduk di samping Cakra, mengabaikan kata-kata Cakra.

"Udah gue bilang jangan pernah dekatin gue lagi, dan anggap kita enggak saling mengenal kalau ketemu!"

Alura menggeleng pelan, bibirnya mengerucut. "Mana boleh gitu, lo enggak bisa seenaknya gitu aja memutuskan hubungan--"

"Emangnya sejak kapan gue berhubungan sama lo? Kita cuma terikat antara bos dan bawahan, dan sekarang lo bukan bos gue lagi jadi hubungan itu udah putus! "

Alura terperangah, kali ini ia kembali melihat sosok dingin Cakra, seperti yang pernah ia lihat ketika mereka bertemu pertama kali di SMA. Sorot mata tajam itu menunjukkan kemarahan yang membuat Alura takut.

"Lo cuma menganggap gue bos lu selama ini? " tanya Alura pelan, namun Cakra masih bisa mendengarnya.

"Lo berharap gue nganggep lo apa, ha?'

Alura menggigit bibirnya dengan kuat, entah mengapa rasanya sakit sekali mendengar omongan Cakra, ternyata selama ini ia yang menganggap lebih perhatian dari Cakra selama mereka bersama padahal Cakra hanya melakukan itu sebagai bawahan yang harus melindungi bosnya.

Tes...
Tes...
Tes...

Tetes demi tetes air hujan turun membasahi jalanan, dan tetesan itu mulai mengalir deras dengan guntur yang mulai bersahutan. Cakra berdecak kesal ketika air hujan merembes mengenai kepalanya, walaupun mereka saat ini berteduh di pohon yang memiliki daun yang lebat, tetap saja mereka kena air hujan yang turun deras.

Status SosialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang