Bab 9

8 2 0
                                    

Brak...

Haniya terpental jatuh ke lantai, ketika seorang wanita yang seumuran dengannya mendorong ia begitu kuat.

"Kamu masih berhubungan dengan suami saya?! "

Haniya menggeleng lemah. "Itu---saya pun tidak mau menghubungi dia mbak, tapi sedari kemarin dia mengajak saya menjenguk kuburan---"

Wanita itu menggeram marah, ia menendang tubuh Haniya berkali-kali, hingga Haniya merasakan tubuhnya mati rasa saat ini, ia tidak punya kekuatan untuk melawan wanita itu.

"Saya tau kamu bohong, sejak dulu suami saya tidak pernah tau anak haram itu di kubur dimana, dia bahkan nggak tau anak itu masih hidup. Dan ingat ini satu hal, ia hanya punya satu anak laki-laki, dan itu adalah anak yang saya lahirkan, bukan anak kamu!"

Haniya menatap sayu wanita itu, kemudian ia terkekeh kecil.

Wanita itu menatap berang Haniya.
"Apa yang kamu tertawakan?! "

"Anak kamu memang kamu yang melahirkan, tapi kamu harus ingat mbak, dia bukanlah darah daging suamimu--"

"Diamm!! " Wanita itu kembali menendang Haniya tanpa ampun, menginjak perut wanita itu hingga Haniya tidak dapat bergerak lagi.

Wanita itu mengambil uang dari tasnya, kemudian menghamburkan uang itu hingga mengenai tubuh Haniya.

"Saya tau kamu melakukan ini karena tidak punya uang 'kan? Tcih, dasar miskin, orang miskin seperti kalian tidak pantas untuk hidup di dunia ini, karena kalian hanya menjadi benalu bagi orang lain, " ujar wanita itu pedas. Sebelum ada yang melihat kelakuannya, ia buru-buru pergi dari rumah Haniya.

Haniya hanya dapat menangis, hatinya lagi-lagi hancur, sejak dulu sudah ia tanamkan pada dirinya bahwa tidak akan pernah mendekati keluarga itu, tapi entah mengapa ia begitu gila kembali merespon laki-laki yang ia temui di masa lalu, bukan karena ingin kembali pada laki-laki itu, tetapi Haniya hanya ingin laki-laki itu dapat tau keberadaan Cakra. Tapi akibatnya malah jadi seperti ini, ia kembali di hina layaknya hewan yang tidak pantas hidup.

****
"Udah tenang? "

Alura mengangguk pelan. "Gue mau pulang, " lirihnya.

"Oke, kita pulang sekarang. " Cakra membantu Alura untuk bangun.

"Lo bisa jalan 'kan? " tanya Cakra melihat Alura yang saat ini masih terlihat lemas.

"Bisa kok, " jawab Alura cepat dengan senyum tipis.

Cakra menghela napas. "Bohong lu! " Tanpa aba-aba Cakra menunduk dan langsung menggendong tubuh mungil Alura.

"Kyaaa." Sontak saja Alura berteriak kencang.

"Berisik! "

Alura menunjuk wajah Cakra dengan jarinya. "Lo gila ya, bisa-bisanya gendong gue di tempat umum, turunin! " Wajah Alura yang semula lemas kembali menunjukkan wajah garang.

Cakra tersenyum sinis. "Lo sengaja 'kan nunjukin wajah memelas, biar gue kasihan terus gendong lo, selamat lo udah mendapatkan yang lo inginkan. "

Alura memukul dada bidang Cakra. "Gak ada ya, gue gak pernah mau di gendong sama lo, turunin gue! "

Bukannya menuruti perintah Alura, Cakra malah berjalan santai menuju parkiran mobil mereka. Alura berdecak kesal, ia yang malu menyembunyikan wajahnya di dada bidang Cakra, pasti saat ini mereka berdua telah menjadi pusat perhatian orang lain.

"Cepetan jalannya, jangan kek siput gini dong, " bisik Alura.

"Lo berat, makanya gue kesusahan bawa lo--"

"Apa! Gue selama ini diet mati-matian biar gak di bilang gendut ya, dan lo malah ngatain gue berat? Itu sama aja lo ngatain gue gendut! " geram Alura.

Cakra menyeringai. "Diet? Porsi makan lo aja banyak, sok-sok an bilang diet, " jawab Cakra sinis.

"Cakra lo ngeselin banget! " Alura memberontak memukul dada Cakra dengan sekuat kuat, kalau bisa sampai laki-laki itu bengek pun Alura tidak peduli, karena laki-laki yang menggedongnya ini benar-benar mengesalkan.

"Pukulan lo gak ada rasanya," ujar Cakra lagi.

Alura tidak berhenti sampai disitu, ia dengan kesal menggigit kuat-kuat bahu Cakra yang dilapisi kaos berwarna hitam, Cakra mendesis kesakitan, ia menatap tajam Alura yang saat ini menggigit bahunya seperti seorang vampir yang ingin menghisap darahnya, gadis ini benar-benar sinting!

"Lo gila ya? " Urat leher Cakra menonjol, menandakan ia sedang marah.

Alura melepaskan gigitannya, ia tersenyum kemenangan pada Cakra. "Rasain, makanya jangan pernah menghina cewe yang lagi diet, soalnya mereka bakalan lebih sentisif--"

Mulut Alura langsung terkunci rapat, melihat aura membunuh Cakra yang sangat kuat. Langsung saja Alura tersenyum semanis mungkin, ia mengusap-usap dada Cakra dengan lembut.

"Cakra, gak boleh marah, nanti darah tinggi lo kumat 'kan bisa bahaya. Ayo cepat tarik napas panjang terus hembuskan, " ujar Alura lembut. Ia melirik Cakra yang masih menunjukkan ekpresi membunuh.

Alura tidak habis ide, ia memeluk Cakra dan melingkarkan kedua tangannya di leher Cakra, dan dengan penuh kelembutan mengusap kepala laki-laki itu.

"Cup cup, Cakra gak boleh marah. Cakra anak baik dan pintar 'kan? Ayo-ayo senyum, nanti Cakra gak dapat permen loh kalau marah-marah," ujar Alura.

"Lo---"

Alura melepaskan pelukannya dan langsung membekap mulut Cakra sebelum laki-laki itu mengeluarkan kata-katanya. Cakra mendelik semakin tajam, membuat Alura semakin bergetar ketakutan. Katakanlah ia cemen karena takut dengan bodyguardnya sendiri, tapi Cakra jika marah sangat menyeramkan, dan ia mengakui takut pada tatapan laki-laki itu.

"Ayolah Cakra gue cuma bercanda, gue minta maaf udah gigit lo, " lirih Alura menyerah. Segala cara sudah ia lakukan, tapi wajah Cakra tetap ingin menelannya hidup-hidup.

Cakra menghembuskan napas panjang. "Peluk gue, " tukasnya dengan wajah datar.

"Ha? Lo bilang apa barusan? "

"Peluk gue Alura, lo budeg? " Cakra kembali meninggikan suaranya. Sontak saja Alura langsung melingkarkan kedua tangannya kembali di leher Cakra, memeluk laki-laki itu dengan sangat erat.

"Lo--lo mau buat gue--mati--"

Alura buru-buru merenggangkan pelukannya.

"Alura, " tekan Cakra.

"Iya maaf, lagian lo aneh banget tiba-tiba minta di peluk. "

Cakra menghela napas. "Tubuh lo gemetaran, pasti lo kedinginan 'kan? "

Alura membulatkan matanya, ya dia memang saat ini kedinginan karena angin malam yang berhembus kencang, tapi tidak menyangka Cakra sepeka itu.

"Itu sebabnya lo meluk gue? "

Cakra berdehem. "Hm, setidaknya badan gue bisa jadi penghangat tubuh lo. "

Senyuman terbit di bibir Alura, dengan kedua pipi yang juga sudah memerah seperti tomat, ia kembali mengeratkan pelukannya pada Cakra, menjatuhkan kepalanya di bahu lebar laki-laki itu.

Usapan lembut terasa di rambutnya, membuat Alura semakin tidak bisa mengontrol dirinya, ia ingin berteriak kencang namun tidak ingin memgacaukan kebersamaan ini, jadi Alura hanya bisa menggigit bibirnya kuat untuk menahan rasa yang membuncah di hatinya.

Bersambung...

Status SosialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang