Theo melepaskan pelukannya dan menepuk pundak Cakra. "Jadi bagaimana, mau pindah dari sini dan ikut bersama ayah? "
Cakra menoleh pada ibunya sekejap dan kemudian kembali melihat Theo, ia menggelengkan kepalanya. "Sepertinya tidak yah, karena bagaimana pun seminggu lagi Cakra akan pergi ke luar negeri, " ujarnya dengan senyum kecil.
Theo tentu saja terkejut mendengar itu. "Untuk apa Cakra? "
"Cakra akan menggapai cita-cita Cakra disana. "
Kening Theo mengerut tidak mengerti, mengapa Cakra harus jauh-jauh ke luar negeri untuk menggapai cita-cita sedangkan ada Theo disini yang akan menjamin masa depan anak itu.
"Kamu tidak perlu pergi jauh, Cakra. Biarlah kamu tetap tinggal disini dan menemani ibu kamu, ayah yang akan bertanggung jawab untuk masa depan dan cita-cita kamu. Ayo katakan pada ayah kamu mau jadi apa? " tanya Theo sembari tersenyum.
Cakra menghela napas, sepertinya Theo belum mengerti apa yang Cakra maksud. "Ayah menanyakan cita-cita Cakra 'kan? Cita-cita Cakra adalah membungkam mulut jahat keluarga Ayah dengan kesuksesan Cakra, " jawab Cakra tegas.
Senyuman di wajah Theo luntur seketika, ia langsung melemas mendengar ucapan itu.
"Jika Cakra memakai kekuasaan Ayah untuk sukses maka bukannya membungkam mulut mereka, tapi Cakra malah semakin di hujat karena memanfaatkan kekuasaan yang Ayah miliki, " lanjut Cakra lagi.
"Tidak nak, memang sudah seharusnya Ayah yang membantu kamu 'kan? Karena kamu adalah putra Ayah, tidak perlu mendengarkan apa kata mereka nanti Ayah yang menghadapi mulut-mulut jahat itu, " ujar Theo mencoba membujuk Cakra.
"Tidak Ayah! Kata-kata penuh hinaan yang keluar dari mulut mereka tidak bisa Cakra lupakan begitu saja, ucapan itu sudah membekas di hati Cakra menimbulkan kebencian yang amat sangat--"
"Cakra! " sela Haniya seketika. Ia menyentuh lengan Cakra dan mengusapnya lembut. "Jangan pernah membuat hati kamu di penuhi oleh kebencian, nak. Ikhlaskan segala yang terjadi di masa lalu, mulai sekarang kamu harus membuka lembaran yang baru dengan hati yang bersih, " ujar Haniya menatap pedih lelaki itu.
Cakra menyentuh tangan Haniya yang memegang lengannya dan mencium lembut tangan yang di penuhi kerutan itu. "Mungkin Cakra bisa ikhlas oleh omongan mereka yang menghina Cakra, tapi Cakra tidak akan pernah ikhlas dengan hinaan yang keluar dari mulut mereka untuk mencela ibu, " jawabnya tegas dan penuh penekanan.
Theo menatap miris ke depan, akibat mulut-mulut keluarganya putra kandungnya sendiri malah menjadi seperti ini menahan sakit dan trauma hingga sekarang. Ia mengusap bahu Cakra dan mencengkram kuat bahu lelaki itu. "Baiklah, Ayah mengizinkan kamu untuk pergi ke luar negeri. Tapi sebelum kamu pergi Ayah ingin memberikan kamu sesuatu. "
"Apa itu Yah? "
Theo memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana dan setelah itu mengeluarkan benda yang ia simpan itu ke hadapan Cakra dan Haniya.
"Apa maksudnya ini Ayah? " tanya Cakra bingung ketika Theo menyodorkan sebuah kunci padanya.
"Ini apartemen milik Ayah dan sekarang akan menjadi milik kamu, " ujar Theo tersenyum.
Cakra menatap datar kunci itu. "Ayah sedang menghina Cakra? "
Theo sontak kaget, ia langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan begitu maksudnya nak, Ayah menyerahkan kunci ini agar kalian dapat pindah dari rumah ini ke rumah yang lebih baik---"
"Untuk apa? Rumah ini juga masih layak huni dan nyaman untuk Cakra dan ibu tempati. Apa Ayah terganggu dengan ucapan Bara tadi? Yang mengatakan rumah ini mirip seperti kandang kambing--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Status Sosial
ActionCakrawala Abirama "Setiap manusia itu sama, hanya berbeda takdir dengan manusia lainnya. " Cakrawala Abirama, hanya laki-laki sederhana bermata elang, berbadan tegap, dan memiliki wajah rupawan. Ia memiliki semua keindahan itu, namun tidak dengan ta...