Bab 11

9 1 0
                                    

Ternyata ucapan Cakra tidak main-main, mereka berdua memang pulang dengan berjalan kaki. Padahal Alura sudah mengajak Cakra untuk memakai taxi saja, tapi niatannya urung melihat uangnya yang menipis akibat terlalu boros selama orang tuanya tidak ada di rumah.

Alhasil Alura pun mengikuti ide gila Cakra, yaitu dengan berjalan kaki pulang ke rumah. Entah apa yang di pikirkan teman-teman sekolahnya jika melihat ia berjalan kaki, namun Alura tidak punya pilihan lain.

"Cakra, gue malu. " Alura mendekatkan tubuhnya pada Cakra, mencoba menutupi tubuh mungilnya dari sinar matahari dan dari orang-orang yang mungkin mengenal wajah Alura.

Cakra menghela napas panjang, ini sudah keberapa kalinya Alura mengeluh, padahal mereka baru saja berjalan dua menit, namun gadis itu sudah mengeluh malu, lelah, dan banyak lainnya yang membuat Cakra mulai terbakar emosi.

"Jangan buat gue ngulangin kata-kata lagi! Kalau lo malu sana naik taxi," ujar Cakra jengkel. "

Alura berdecak. "Lo 'kan udah terbiasa jalan, beda sama gue yang baru kali ini. " Alura mengipasi wajahnya dengan menggunakan satu tangan. "Cuacanya panas lagi. "

"Terus gue harus ngapain? " Cakra menatap jengkel Alura.

"Cakra, kulit gue jadi hitam nanti. Berhenti sebentar yuk, nunggu cuacanya mendung, " rengek Alura.

Cakra membuka topi yang ia pakai, dan memberikannya pada Alura. "Pake ini, biar wajah lo gak kena panas. "

Alura menerimanya dan langsung memakai di kepalanya. "Tetap aja, tangan gue tetap kena panasnya. "

Cakra menghentikan langkahnya. "Terus gue harus gimana? Lo mau gue gendong, ha? "

"Kok lu marah sih, " Alura mencebikkan bibirnya.

"Gue juga kepanasan, bukan lo doang! Jadi jangan banyak ngeluh dan terus jalan. "

Alura mengangguk cepat. Sebenarnya moodnya sudah sangat berantakan saat ini, tapi ia pun takut jika membuat Cakra semakin marah. Cakra kembali melanjutkan perjalanannya, diikuti oleh Alura dari belakang walaupun gadis itu berjalan dengan langkah lunglai.

"Tck." Cakra berdecak kesal, entah sampai kapan mereka akan sampai jika jalan Alura saja seperti siput.

"Jangan lelet bisa? Lo dari tadi di bilangin gak ngerti ya?!"

Alura tidak menjawab, ia tetap jalan dengan kepala menunduk, melewati Cakra yang saat ini menatap kesal padanya.

"Alura, gue lagi bicara. " Cakra meraih pergelangan tangan gadis itu membuat langkah Alura terhenti.

"Ayo jalan, lo mau cepat sampai 'kan?" Suara gadis itu terdengar parau.

"Lihat gue. "

"Ayo jalan Cakra, " ujar Alura mengabaikan ucapan Cakra.

"Alura, " tegur Cakra. Ia menyentuh dagu Alura dan mengangkat kepala gadis itu ke arahnya. Ia terkejut melihat pipi Alura yang sudah basah, bukan karena kepanasan tapi gadis itu saat ini sedang menangis, terlihat dari matanya yang mengeluarkan air mata.

"Lo---"

Alura menepis tangan Cakra dari dagunya. Ia dengan buru-buru menghapus air matanya. "Gue capek, " lirihnya pelan.

Cakra menghela napas panjang, mungkin ia memang sudah keterlaluan pada gadis itu karena bagaimanapun Alura hanyalah seorang gadis kaya raya yang sudah terbiasa dengan kemewahan, tidak pernah sekali pun ia berjalan kaki, jadi sudah sepantasnya Alura mengeluh.

"Kita berhenti dulu, ayo. " Cakra meraih tangan Alura dan membawanya menuju pohon besar yang daunnya sangat lebat, pohon itu bisa mereka buat untuk tempat berteduh.

Status SosialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang