Malam itu Aergeus tidak datang.Setelah kristal pergi, Xennia kembali sendirian. Dengan berbagai teori di otaknya begitu mengganggu, kata-kata kristal terus saja berputar bagaikan potongan kaset, merusak memorinya secara penuh.
Gadis itu tidak bergerak sedikit pun dari ranjang, matanya terus menatap kosong pada jendela yang menampakkan badai di luar. Kristal— Xennia masih tidak mengerti, Kristal hanya mengatakan hal-hal aneh, itu bukan sebuah jawaban apakah benar bahwa Kristal sosok di balik teroran itu.
Namun Xennia kembali berpikir ulang. Kristal tidak mungkin secara terbuka memberi jalan untuk Xennia menargetkannya sebagai tersangka, jika mungkin Kristal pelakunya, gadis bersurai panjang itu seharusnya menghindar dari daftar orang-orang ‘tercurigai’. Setidaknya Kristal harus lebih berhati-hati atau mungkin tidak— jika kristal masih memiliki rencana lain di baliknya.
Masih tentang Kristal, Xennia tidak mengerti kenapa Haera berada dalam red list gadis itu, tidak mungkin hanya karena Hera dekat dengan Zervanos atau karena gadis itu sepupunya Theo. Xennia tidak menganggap kedua opini itu masuk akal, mengingat tujuan awal kristal hanya lah Aergeus.
Lalu apa masalahnya?
Ceklekk
Ia kira Aergeus, ternyata bukan, ya?
“Aergeus ada urusan, dia minta gue nemenin lo.” Ucapnya dengan wajah datar.
“Sebenarnya lo gak perlu lakuin itu,”
“Gue cuma gak mau lo kenapa-napa dan ngerepotin Aergeus. Lo harusnya sadar dampak akhirnya Zervanos yang kena imbas.”
Xennia menunduk, “Sorry.”
Kemudian hening, suara detakkan jam menambah kesan semakin canggung. Keduanya tampak tidak ingin mencairkan suasana, sebenarnya hanya si ‘tamu’, Xennia hanya terlalu segan.
“I wanna ask something,” Xennia menatap lawan bicaranya ragu. Gadis itu kembali membuka suara saat sosok di sampingnya hanya diam menatapnya.
“Why you hate me?”
“I don’t hate you.” Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya sangsi.
“Then why you always looking me like that?”
“Like what?”
“Like you hate me.” Xennia berdecit pelan.
Laki-laki itu menghela nafas, ”I never hate you, Xennia.”
“I never hate you.” Ulang nya.
“So what? Theo,” intonasinya tanpa sadar sedikit menuntut, Xennia bahkan tanpa ragu menatap sangsi pada Theo terang-terangan.
Theo bungkam, merasa terlalu rumit untuk menjawab pertanyaan Xennia, membuat gadis itu mendengus saat Theo mendiaminya. Tiga menit berlalu, Xenia sudah kembali menundukkan kepalanya, tidak lagi menunggu apa yang akan Theo katakan.
“Mata lo mirip seseorang,” ucap Theo tiba-tiba.
Xennia melirik Theo dari sudut matanya, kemudian kepalanya terangkat.
“Kak Haera pernah bilang kalau mata gue mirip temennya, orang yang kalian maksud, itu orang sama?”
“Hmm,”
“Tapi kenapa respons kalian berbeda? Kak Haera, kelihatan bahagia waktu pas bilang mata gue mirip sama punya temen nya, itu beda jauh dari reaksi lo. Lo kelihatan kayak benci gue, atau... orang yang lo maksud.” Ucapnya memelan di akhir.
Untuk pertama kalinya, ia melihat Theo tersenyum, senyum kecil yang terlihat tulus. “Gue gak benci lo, gue juga gak benci orang itu.”
“Tapi, siapa orang itu? Beneran temen? Atau salah satu sepupu lo? Kayak kak Haera.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCHILLES♤ [END]
Teen FictionSeinna Batra Archilles meninggal dunia sebagai tokoh antagonis. Dan datangnya Xennia dengan wajah yang mirip namun dengan karakter yang bertolak belakang. ... Kejadian itu kembali terulang, hanya saja dengan posisi yang berbeda. Sebuah kesalahan...