ARCHILLES 032

1.7K 61 0
                                    


Aergeus tidak bertanya apapun pada Xennia perihal yang terjadi kemarin. Itu cukup baik untuk Xennia.

Apa yang Deo katakan tentang hal yang masih banyak Xennia sembunyikan ternyata benar apa adanya. Entah soal apa lagi, Aergeus tidak akan bertanya, laki-laki itu cukup berpikir Xennia yang membutuhkan privasi. Itu adalah ruang Xennia, Aergeus hanya perlu memastikan Xennia baik-baik saja.

Soal hubungan Xennia dan Kristal, Aergeus menyembunyikannya. Tidak ada niat lain sungguh, Aergeus hanya berusaha membuat Xennia nyaman. Lagi pula itu bukan hal yang memang harus di ketahui anggotanya.

Tentang bagaimana Xennia dan Kristal, mereka sedarah. Itu adalah fakta.

“Itu mustahil.”

“Kita gak akan tahu kalau gue gak lihat kemarin. Mereka sedarah, satu ayah. Ayah Xennia berselingkuh jauh sebelum Xennia lahir, Azka dan Sera memulai hubungan gelap sampai melahirkan Kristal.” Sosok jangkung itu menjelaskan sembari menghirup rokoknya. Sedangkan sosok lainnya tengah menyenderkan kepalanya pada kepala sofa, terlihat alisnya sesekali menyerngit, seperti tengah mencerna sesuatu yang sulit di mengerti.

“Kristal anak di luar nikah?”

“Ya, mereka menikah setelah Kristal berusia tujuh tahun.”

“How about Xennia? Sejak kapan mereka saling tahu kalau mereka bersaudara?”

“Gue gak tahu pasti. Tapi kabar yang gue dapat, orang tua Xennia sempat ribut besar sebulan sebelum perceraiannya. Tebakan gua itu terjadi saat nyokap Xennia tahu suaminya berselingkuh. Xennia udah cukup besar saat itu, kemungkinan besar Xennia juga tahu.”

Laki-laki yang menyender di sofa itu mengangguk kecil, “Soal Kristal, apa menurut lo masih ada kemungkinan?”

I don’t know. Xennia membenci Kristal karena hubungan orang tuanya, sedangkan Kristal membenci Xennia hanya karena masalah Aergeus. Kemungkinan Kristal membenci Xennia karena tragedi itu kecil, Kristal gak di rugikan apa pun soal itu. Dia dapat semuanya.”

“Kesimpulannya mereka saling membenci sampai sekarang.” Sosok itu berbicara pelan, terdengar nyaris seperti bisikan.

“Itu gak merubah keadaan. Lebih baik kalau kita kembali fokus tentang Haera, dia yang paling penting.”

Deringan handphone terdengar, sosok yang tengah menghirup rokok itu meraih benda tipis miliknya pada saku. Beberapa detik ia memandangi layar menyala tanpa melakukan adapun, kemudian mengangkat panggilannya setelah menghela nafas sesaat.

“Kenapa?”

“Dimana?”

“Di toko kue, lagi anter bunda,”

“Mau ke markas? Gue gabut di rumah.”

“Mungkin setelah anterin Bunda gue ke sana. Kenapa? Mau nebeng, kan, lo?”

Hehe tahu aja. Jemput gue ya jangan lupa, gue tunggu di rumah.”

“Ck, iya iya.”

“Jangan lama lo.”

Sambungan itu terputus. Sosok yang di sofa itu melirik temannya dengan seringai, “Siapa?”

“Deo.”

Laki-laki yang tengah menyender pada kepala sofa itu menaikkan sebelah alisnya, “So? Apa yang akan lo lakuin ke depannya?”

About?”

“About your friends,”

Sosok jangkung itu melemparkan rokoknya ke lantai, kakinya bergerak menginjak berniat mematikan nikotin yang masih berasap itu. Kini marmer putih itu memiliki noda hitam pada beberapa bagian. “You’re my friend.”

ARCHILLES♤ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang