"Gimana? apa tadi menyenangkan?" Begitu masuk kedalam kelas, lagi-lagi Daven mengomporinya, dengan kesabaran Tian yang setipis tisu ia benar-benar sudah tidak bisa menahan penghinaannya yang terus-menerus dilakukan oleh Daven padanya. Tian mengepalkan erat tinjunya dan satu pukulan telak berhasil mendarat di wajah Daven.
Tidak hanya Daven yang terkejut, teman sekelasnya yang melihatnya juga ikut terkejut. Mereka mengira Tian akan semudah itu untuk dibully, sebenarnya ia hanya menahan dirinya selama ini agar tidak melewati batas andai saja ia tidak bisa menahan dirinya mungkin Tian sudah menghabisi mereka satu persatu yang mengatainya.
Daven meludahkan sembarangan air liur yang terasa amis di mulutnya ke lantai kelasnya. Ia melihat ternyata segumpal darah merah yang masih segar ikut keluar bersamaan dengan air liurnya.
"Sialan,, pukulan dari bajingan cacat itu cukup menyakitkan" Daven masih memegang pipinya yang sepertinya mulai membengkak. Etthan menghampiri mereka untuk melerai perkelahiannya sebelum ada yang melapor kepada guru. Jika kejadian ini bocor, sudah pasti tidak ada harapan untuk mereka berempat tetap tinggal di asrama."Semuanya, jangan sampai ada yang membocorkan kejadian ini!! jika sampai bocor aku akan cari orangnya sampai dapat dan lihat apa yang akan kita lakukan." Etthan dengan sengaja menekan setiap kalimat yang ia katakan untuk mengancam teman sekelasnya. Mereka tidak bergeming dan masih berdiri di posisi masing-masing sepertinya ancaman Etthan barusan berhasil menakuti mereka.
"Daven kau ke UKS aja.. dan untuk Tian aku ingin berbicara berdua dengan mu." Etthan berjalan melewatinya dan sepertinya raut wajahnya benar-benar marah sekarang. Tapi mengapa? padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun padanya. Mengapa dia yang harus marah-marah.
Tian mengekorinya dan tidak tahu sampai kapan Etthan akan berhenti berjalan. Merasa sudah cukup jauh dari ruang kelasnya, baru Etthan menghentikan langkah kakinya yang diikuti oleh Tian.
"Tian, kalau tau begini jadinya kemarin aku tidak akan membelamu." Tian mengingat kembali dimana Etthan membelanya dari Daven yang mengatakan masakan yang dibuatnya adalah sampah. Tian merasa waktu itu sebenarnya ia bahkan tidak meminta Etthan untuk membelanya mengapa sekarang dia baru rasa menyesal.
"Aku tidak me... " (ucapannya terpotong)
"Tian, karena sebagai teman sekamarmu aku mohon jaga sikapmu mulai sekarang jika kau tidak ingin menimbulkan masalah apapun lagi bagi kami. Dari awal kau pindah, aku merasa tidak ada hal baik yang terjadi. Terutama tentang hubunganmu dengan Daven, berhentilah untuk memprovokasinya sebelum kita benar-benar diusir dari asrama ini."
Tian menundukkan kepalanya "Tapi.. Daven dia menyembu... "
"Aku tidak mau dengar alasan apapun lagi, jika kau masih bertindak seperti tadi, lebih baik kau pindah dan jangan sekamar dengan kita." Etthan lagi-lagi memotong pembicaraan Tian, ia benar-benar tidak memberikan kesempatan kepada pria itu untuk memberikan penjelasan padanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin karena dirinya yang melakukan tindakan kekerasan maka orang-orang mengira Tian lah yang jahat.
"Baiklah" Jawab Tian lirih dengan kepala yang tertunduk, sepertinya ia benar-benar ingin menangis sekarang. Ia berhasil menahan air matanya hingga Etthan berjalan pergi meninggalkannya.
Begitu Etthan menjauh darinya, air matanya menetes tak terkendali. Padahal dirinya lah yang terluka disini tapi orang-orang berbondong-bondong untuk menyalahkannya.
Sekali lagi Tian harus melewati titik hancurnya sendirian, tidak ada uluran tangan, tidak ada rangkulan dan dekapan dan tidak memiliki tempat kepercayaan begitulah caranya bertahan hidup untuk selama ini.
Tian mengusap air matanya dengan menggunakan punggung tangannya, ia juga sesekali bercermin di kaca apakah matanya terlalu kentara saat ia habis menangis. Akan memalukan jika dilihat orang-orang bahwa seorang Alpha menangis tersedu-sedu seperti ini.
Setelah merasa pikirannya sudah jernih dan matanya tidak lagi sembab, Tian kembali kedalam kelasnya. Ia sedikit terlambat, namun karena alasan bahwa ia sedang tidak enak badan maka gurunya akan mentolerirnya.
Begitu bel berbunyi, Tian tidak langsung pulang ke kamarnya, ia tidak ingin bertemu dengan Etthan maupun Daven untuk hari ini. Tian memutuskan untuk duduk di toko serba ada yang terletak diseberang jalan asramanya dan sambilan menunggu kedatangan ayahnya yang akan menjemputnya malam ini. Tian entah harus merasa senang atau sedih dengan besok yang kebetulan hari minggu. Senangnya adalah ia tidak perlu bertemu dengan kedua temannya itu, sedangkan sedihnya adalah mungkin ayahnya akan mengetahui apa yang terjadi padanya hari ini di sekolah begitu melihat rekapan aktivitas Tian disekolah.
Tian menjatuhkan dengan pelan kepalanya keatas meja dengan tas yang ia gunakan sebagai alasnya, karena sangat mengantuk ia sempat tertidur cukup pulas dan lama disana. Saat tiba-tiba hp nya berdering alhasil membuatnya kaget dan terbangun. Tian mengucek matanya berkali-kali untuk memastikan siapa yang menghubunginya.
"Ayah?" begitu lihat nama ayahnya yang tertera dilayar hpnya, Tian dengan cepat menjawabnya.
"Ayah?" panggilnya lirih
"Turun! ayah sudah ada dibawah."
"Baik ayah."
Tian mematikan panggilannya, dan bergegas berlari ke jalan seberang. Ia bisa melihat mobil ayahnya yang terparkir tepat didepan asramanya.
Tian membuka pintu mobilnya secara perlahan dan mendaratkan pantatnya tepat di samping ayahnya. Lagi-lagi ia melihat raut ayahnya yang tidak senang dan datar sekali. Ia tidak berani berbicara disepanjang perjalanan. Matanya hanya fokus untuk menikmati pemandangan yang ada diluar kaca mobil. Ia senang setidaknya asramanya memperbolehkan siswa untuk pulang di setiap hari minggu untuk bertemu dengan orang tuanya, dengan begini ia tidak perlu hanya menetap didalam kamar asrama. Setidaknya saat pulang kerumah Tian bisa menikmati perjalanan yang menenangkan seperti ini.
Ayahnya menghentikan mobilnya saat rambu lalu lintas berwarna merah dan masih tersisa waktu 30 detik sebelum rambu mengubah warnanya menjadi warna hijau. Tian tidak sengaja menoleh ke sebuah rumah makan yang ada di sebelah kirinya, ia melihat didalamnya ada beberapa orang yang tidak asing dan tentu Tian mengenalnya.
"Etthan, Daven dan Marsh?" Mereka bertiga tampak bahagia dan gelak tawa menghiasi di setiap masing-masing wajahnya. Tidak hanya mereka bertiga, Tian juga ada melihat beberapa gadis dan beberapa pria cantik yang sepertinya adalah omega.
"Disaat aku duduk kesepian"
"Saat itu juga kalian duduk ditempat yang menyenangkan"
"Yah malamku dengan malam kalian memang benar-benar terlihat berbeda."
Rambu lalu lintas berubah menjadi warna hijau dan ayahnya kembali menyalakan mesin mobilnya. Tian tidak bisa berhenti untuk memandangi mereka yang bersenang-senang meskipun mobil ayahnya yang mulai menjauh dari tempat itu.
"Lihat apa?" tanya ayahnya dengan raut wajah penasaran
"Ah, tidak ada apa-apa" Tian dengan segera membetulkan posisi duduknya begitu ayahnya menyadari apa yang sedang ia lakukan barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!