Tian bergegas pulang kerumahnya, langkah-langkahnya dipenuhi kebimbangan dan hati yang tersiksa. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata ibu Marshall dan bayangan kecelakaan yang menimpa pria itu.
Setibanya di rumah, dia merasa seperti dibanjiri oleh gelombang emosi yang tak mampu lagi ia tahan. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menuju kamar Marcel.
Pintu kamar itu sedikit terbuka, dan cahaya lampu tidur menerangi ruangan dengan lembut. Marcel terlelap di atas tempat tidurnya, napasnya tenang dan dalam. Melihat putranya yang tengah tertidur pulas membuat hati Tian semakin hancur. Dia berdiri di ambang pintu sejenak, mengumpulkan keberanian sebelum perlahan-lahan melangkah masuk.
Tian merasakan air matanya mulai menggenang di sudut mata. Dengan langkah hati-hati, dia mendekati tempat tidur dan duduk di tepinya. Dia memperhatikan wajah Marcel yang polos, begitu damai dalam tidurnya. Semua kekhawatiran, ketakutan, dan penyesalan yang selama ini dipendamnya pecah dalam sekejap. Tanpa ragu, dia membungkuk dan memeluk tubuh kecil Marcel yang hangat.
"Marcel..” bisiknya dengan suara yang bergetar, menahan isak tangis yang mendesak keluar. “Mengapa semuanya terasa begitu sulit?”
Marcel bergerak sedikit dalam tidurnya, mungkin merasakan kehadiran Tian, tapi dia tidak terbangun. Tian hanya mempererat pelukannya, seolah-olah takut jika dia melepaskan, semua rasa aman yang dirasakannya akan lenyap begitu saja. Dalam keheningan malam, Tian membiarkan air matanya mengalir, membasahi rambut Marcel yang lembut.
Waktu seakan berhenti ketika Tian memeluk putranya. Semua rasa bersalah, rasa sakit, dan kebingungan yang selama ini mengganggunya seperti menemukan tempat untuk ditumpahkan. Baginya, Marcel adalah satu-satunya hal yang berharga dalam hidupnya, sesuatu yang bisa dia jaga dan lindungi dengan segala cara.
Keesokan paginya, Marshall terbangun di rumah sakit dengan perasaan yang bercampur aduk. Kepalanya masih terasa berat dan kelopak matanya seperti enggan terbuka. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, berharap melihat wajah yang ia inginkan, tapi yang ditemukannya hanyalah ibunya dan Shion yang duduk di kursi dekat tempat tidurnya.
Ibu Marshall segera mendekat, raut wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam, namun juga kemarahan yang terpendam. “Marshall, apa yang kau pikirkan? Mengemudi dalam keadaan mabuk, dan dalam kondisi seperti ini? Kamu hampir saja membunuh dirimu sendiri!” Ujar ibunya pertama kali saat melihat Marshall membuka kelopak matanya. Suaranya bergetar dan penuh dengan emosi yang tertahan.
Marshall berusaha bangun, meski rasa sakit di tubuhnya masih menusuk. “Tian... ” panggilnya dengan suara serak, seolah-olah nama itu adalah satu-satunya hal yang penting baginya saat ini.
Shion, yang duduk diam di sudut ruangan, tampak sedih rautnya. Dia menatap Marshall dengan tatapan yang sulit dibaca, antara cemas dan terluka. “Aku yang di sini bersamamu semalaman, Marshall. Aku yang menjaga dan mengkhawatirkanmu. Tapi yang pertama kali kamu tanyakan adalah Tian?” suaranya penuh dengan kepahitan yang sulit disembunyikan.
Ibu Marshall menatap putranya dengan tegas. “Marshall, berhentilah mencari Tian. Dia tidak ada di sini. Dan dia tidak akan ada di sini. Shion yang sudah berada di sisimu, yang telah merawatmu dengan penuh perhatian. Mengapa kamu masih terobsesi dengan seseorang yang bahkan tidak peduli padamu?”
Marshall hanya bisa terdiam, menatap kosong ke arah langit-langit. Bagian dalam dirinya bergemuruh dengan kekesalan dan kebingungan. Tian tidak peduli padanya? kata-kata yang berhasil menusuk jantungnya.
Shion akhirnya berdiri, mendekati tempat tidur Marshall dengan langkah perlahan. “Marshall, aku di sini untukmu. Aku selalu ada untukmu. Kenapa kamu tidak bisa melihat itu?” Mata Shion basah oleh air mata yang tertahan, suaranya penuh dengan harapan yang hampir pudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega
Fiksi Penggemar"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!