Bagian 21

9.9K 678 7
                                    

Tian meraba-raba perutnya yang masih begitu datar, ia masih tidak percaya bahwa didalam perut kecilnya ini ada kehidupan di dalamnya.
"Gugurkan?" Tian bertanya-tanya apakah menggugurkan bayi yang tengah dikandungnya merupakan pilihan yang tepat untuk mereka. Bayi itu tidak bersalah, yang bersalah adalah dirinya yang berbuat sesuatu tanpa memikirkan konsekuensinya.

"Tian, kau juga harus memikirkan masa depanmu, kau taukan aku harus melanjutkan kuliahku dan begitu juga dengan dirimu. Bukankah jika anak ini lahir ia malah akan membebanimu?"

Apa yang Marshall katakan tidak ada salahnya, selain Marshall ia pun juga punya mimpi. Tapi tidak mungkin ia mengorbankan nyawa seseorang hanya karena keegoisan dirinya sendiri.

Tian mengangguk bersamaan dengan senyuman palsu yang dibuat-buatnya untuk lebih meyakinkan dirinya. Setelah melihat anggukan dari Tian, Marshall dapat menghembuskan nafasnya dengan normal karena merasa lega bahwa Tian begitu patuh padanya.

"Apa tubuhmu masih merasa tidak enak?" tanya Marshall dengan suara yang begitu lembut.

"Eung, aku ba.. " belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ponsel Marshall tiba-tiba berdering. Tian menghentikan kalimatnya, ia menatap kearah Marshall yang tengah sibuk mengotak-atik ponselnya. Sepertinya ia sedang membalas pesan dari seseorang yang begitu penting baginya sampai-sampai matanya tidak beralih sedikitpun dari layar ponselnya pikir Tian.

"Tian" panggil Marsh tiba-tiba.

Marshall mengatakan pada Tian bahwa ia barusan mendapat pesan dari kepala sekolah bahwa dia diminta kembali kesekolah sekarang untuk menandatangani berkas-berkas yang akan ia gunakan saat mendaftar universitas ternama di London.

Marshall membelai pelan kepala Tian dan meminta izin padanya.
"Aku harus kembali kesekolah sebentar saja, apa kau tidak apa-apa sendirian disini?"

"Pergilah, disini ada suster yang akan merawatku."

"Baiklah, aku pergi dulu. Jika ada apa-apa hubungi saja nomorku." Entah Marshall terkena angin apa, tiba-tiba saja sebelum beranjak pergi ia menyempatkan diri untuk mengecup keningnya. Tian tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja Marshall lakukan padanya, apakah ini artinya Marshall mulai ada perasaan terhadapnya atau semua yang ia lakukan hari ini hanya untuk menebus kesalahannya. Apapun alasannya tapi ia merasa sangat senang, ia senang karena baru kali ini ia mendapat kecupan dari orang yang ia cintai.

Begitu Marshall pergi dokter kembali masuk untuk mengecek kondisi Tian, anehnya pengecekannya kali ini hasilnya jauh lebih stabil dari hasil yang sebelumnya. Padahal kondisi fisiknya seharusnya baru akan pulih saat mendapat feromon yang cukup dari alphanya.

Dokter memang ada mencium samar-samar aroma alpha didalam ruangan Tian, namun pengunjung hari ini setaunya hanya ada satu alpha yaitu Marshall yang sebelumnya mengaku bukan ayah dari bayi yang tengah dikandung Tian.

Untuk membungkam rasa penasarannya, dokter mencoba untuk mengorek informasi dari si omega. Dokter bertanya kepadanya apakah ayah dari kandungannya sempat datang mengunjunginya mengingat kondisinya yang jauh lebih baik. Tian mengangguk dan ia juga mengatakan bahwa ayahnya baru saja pergi karena ada urusan.

"Baru saja pergi? jadi pemuda yang dari tadi menemanimu adalah alphamu? mengapa tadi saya bertanya padanya dia bilang dirinya bukan ayah dari kandunganmu?"

"APA?"
Tian terdiam, wajahnya memucat setelah mendengar perkataan dari dokter. Tian tidak bisa membalas sepatah katapun ucapan si dokter setelah mendengar bahwa Marshall tidak ingin mengakui anaknya.

Dokter merasa tidak enak setelah melihat perubahan raut wajah Tian, dokter mengutuk dirinya sendiri dengan sebutan orang bodoh karena berbicara lantang tanpa memikirkan perasaan omega itu.

"Ah.. maafkan saya.. saya tidak bermaksud untuk..-"

"Tidak apa-apa" potong Tian dengan cepat

"Dokter, aku ingin menggugurkan anak ini.. " Tian mengangkat kepalanya dan mendongak kearah dokter dengan mata yang penuh dengan permohonan.

Dokter merasa tertekan ditatap begitu oleh Tian, namun ia juga merasa kasihan diwaktu yang bersamaan.

Dokter menghampiri Tian, lalu duduk disamping ranjangnya. Pria baruh baya itu adalah seorang alpha, tapi anehnya Tian tidak merasa tidak enak padanya. Dokter membelai kepala Tian dengan lembut dan mencoba untuk mengatakan beberapa patah kata layaknya seorang ayah yang tengah menasihati anaknya.

"Apa anda yakin ingin menggugurkan anak itu?"

Tian mengangguk dengan cepat dan matanya mulai berkaca-kaca. Tian berusaha memalingkan wajahnya agar tidak dilihat oleh dokter.

"Tapi setelah anda menggugurkan anak itu, anda sudah tidak bisa hamil lagi. Jadi apa anda masih ingin menggugurkannya?"

Tian terkejut saat mendengar perkataan sang dokter, air matanya sudah tidak bisa tertahankan lagi. Berakhir kedua pipinya basah oleh air matanya yang mengalir dengan begitu derasnya.

Badannya gemetaran, kaki dan tangannya mendingin. Dokter menjelaskan sesuatu terjadi dengan tubuhnya. Tubuhnya sudah rusak karena selama ini terlalu banyak mengonsumsi suppressant dengan dosis yang tinggi membuat heatnya tidak stabil alias berantakan berakibat mempengaruhi kesuburan tubuh Tian.

Dokter mengatakan padanya bahwa suatu keajaiban ia bisa hamil sekali dalam seumur hidupnya, tapi jika ia menggugurkannya maka Tian tidak bisa memiliki anak lagi. Bayi ini adalah pertama dan yang terakhir untuknya. Dokter dapat melihat banyak keraguan dimata Tian oleh karena itu ia benar-benar ingin meyakinkan keputusan Tian yang sebenarnya.
"Jadi apa anda masih ingin menggugurkan kandungan ini? ini adalah pertanyaan terakhir jika anda ingin maka besok juga operasinya akan dilakukan." tanya dokter sekali lagi padanya.

Namun kali ini Tian menggeleng, ia akan mempertahankan anak itu. Mungkin anak itu adalah titipan dari Tuhan kepadanya, selama ini ia selalu merasa kesepian mungkin dengan adanya anak ini ia tidak akan merasa kesepian lagi.

"Baiklah, jagalah anak itu dengan baik, suatu hari nanti anak itu akan menjadi harta karun untukmu." Dokter itu berdiri dan tersenyum manis kepada Tian.

Tian mengusap air matanya dengan kedua belah punggungnya hingga tidak menyisakan setetes pun diwajahnya.
"Terima kasih dokter." ujar Tian

Dokter beranjak pergi begitu melihat kondisi Tian yang sudah tenang. Dokter masih tidak habis pikir mengapa omega sebaik dan serapuh itu malah mendapatkan pasangan yang sebrengsek Marshall.

Marshall berjanji hanya pergi sebentar saja pada Tian, namun ia tidak akan mengira dirinya selain mengurus berkas-berkas kuliahnya juga sekalian mengurus passportnya. Berakhir ia menghabiskan waktu yang lama disekolah tanpa mengabari Tian.

Ia menoleh ke jam tangannya, ternyata sudah pukul 7 malam. Jujur saja ia hampir saja melupakan keberadaan Tian yang masih terbaring dirumah sakit.

Marshall begitu tiba dirumah sakit ia berlari keruangan Tian sambil merangkai beberapa kata-kata di dalam hatinya persiapan jika ia harus membujuk Tian yang marah karena dirinya telah meninggalkannya begitu lama.

"Tian maafkan a.. "
Marshall langsung terdiam mematung saat melihat ruangan yang digunakan oleh Tian sebelumnya sudah kosong.

Marshall berlari memanggil suster dan bertanya dimana pemilik kamar sebelumnya.

"Ah, pasien sudah dijemput ayahnya tadi sore, ada perlu apa kalau boleh tau?" tanya suster itu dengan raut wajah kebingungan.

Alih-alih menjawab pertanyaan suster itu, Marshall malah merogoh ponselnya dan menghubungi nomor Tian. Namun anehnya nomor Tian sudah tidak aktif lagi dan tidak bisa dihubungi sama sekali.

"Sialan.. " umpatnya



My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang