Bagian 27

6.6K 462 4
                                    

Sejak mengetahui cerita kelam yang dialami oleh Tian, Marshall merasa terikat oleh dorongan yang tak tertahan untuk kembali ke toko kue itu. Setiap hari baik jam kerja maupun pulang kerja, dia mencari alasan untuk mengunjungi tempat itu, entah itu untuk membeli kue atau sekadar mengobrol dengan pemiliknya. Kunjungan-kunjungan itu terasa seperti langkah awal untuk memulai kembali sesuatu yang hilang dan memperbaiki kesalahan yang telah terjadi.

Awalnya, alasan kunjungannya tampak biasa aja dan tidak mencurigakan. Dia sering kali datang dengan niat membeli kue untuk acara-acara kecil di kantor, atau bertanya tentang produk baru yang ditawarkan. Namun, semakin sering dia datang, semakin jelas bahwa dia mencari lebih dari sekadar kue. Dia mencari kesempatan untuk bertemu dengan Tian, untuk mendekatinya lagi. Jika Tian tidak bisa mengingatnya maka Marshall akan memulai segalanya dari awal.

Tian melayani pelanggannya dengan sopan termasuk Marshall, tetapi selalu ada keraguan dan ketidakpastian di matanya, seolah dia merasa ada sesuatu yang tidak bisa dia ingat dengan jelas. Marshall dapat melihat betapa kerasnya Tian berusaha untuk menjaga kesan normal, meskipun di dalam dirinya Marshall dapat melihat ada rasa ketidaknyamanan Tian terhadapnya.

Pada suatu hari, ketika toko kue tidak terlalu ramai pelanggan, Marshall melihat Tian duduk sendirian disudut ruangan, dia tampak lelah dan sedang memikirkan sesuatu. Dengan hati-hati, Marshall mendekat dan bertanya dengan nada lembut, "Apakah ada yang bisa ku bantu? Kau tampak lelah hari ini."

Tian mengangkat kepalanya, tatapan matanya mengungkapkan keterkejutan atas kehadiran Marshall. Meskipun Marshall sering mengunjunginya beberapa hari ini, tapi Tian masih merasa canggung saat bertemu dengannya.

"Tidak, terima kasih." tolaknya mentah-mentah. Marshall tidak memaksa, ia malah ikut duduk disampingnya.

Tian merasa tidak enak, memang pria itu tidak mengganggunya tapi entah mengapa ia merasa tidak nyaman saat pria itu duduk disampingnya.

Tian ingin beranjak pergi namun ia tidak enak, ia takut Marshall mungkin akan mengira bahwa dirinya dengan sengaja untuk menghindarinya. Tian terus berharap ada seseorang yang menyelamatkannya dari situasi yang tidak nyaman ini dengan segera.

Marcel, anak laki-laki Tian tiba-tiba masuk dan berlari dengan penuh semangat kearahnya. Ia tampak ceria dan penuh energi, baju seragam sekolahnya sedikit kusut setelah seharian beraktivitas. “ayah!” Marcel berteriak sambil berlari ke arah Tian, dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

Tian segera menoleh, wajahnya langsung melembut dan rileks begitu melihat anaknya yang baru pulang. Tian lega karena setidaknya sekarang ia tidak hanya berduaan dengan Marshall.

“Marcel, kamu pulang lebih cepat hari ini,” katanya, sambil mengulurkan tangan untuk merangkul anaknya.

Marcel mengabaikan pelukan ayahnya, ia segera melirik ke arah Marshall yang sedang duduk disebelah Tian “Paman!” serunya dengan penuh kegembiraan, melambaikan tangan ke arah pria yang pernah ia temui sebelumnya.

Marshall langsung terperangah mendengar panggilan Marcel. Dia tersenyum lembut, lalu mengangkat tangan dan membalas lambaian kecil anak itu. “Hai” sapanya, mencoba menyembunyikan rasa sedih diraut wajahnya.

"dia adalah putraku" batin Marshall berkata

Tian tampak sedikit cemas ketika melihat Marcel dengan ceria menyapa Marshall. Marcel begitu terbuka dengan pria itu membuatnya merasa campur aduk. “Marcel, kamu ingat paman ini?” Tian bertanya sambil berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Marcel mengangguk dengan penuh semangat. “Iya ayah, aku ingat."

Marshall memperhatikan interaksi antara Tian dan Marcel dengan hati-hati. Melihat Marcel yang begitu ceria, ia merasa seolah-olah dia mendapat peluang untuk lebih dekat dengan Tian melalui Marcel yang gampang berinteraksi dengannya.

Marcel duduk di kursi sebelah Marshall untuk menggantikan Tian yang akan kembali bekerja. Marcel mengeluarkan buku gambar dari tas sekolahnya. Dengan penuh semangat, dia mulai menggambar, sesekali juga ia melirik ke arah Marshall dengan rasa penasaran. Marshall merasa hatinya tersentuh melihat anaknya itu. Sungguh ia ingin memeluknya dan meminta maaf padanya, tapi dia tidak mempunyai keberanian sebesar itu.

"gambarmu sangat bagus” puji Marshall dengan tulus.

Marcel tersenyum bangga mendengar pujian itu. “Terima kasih, paman! ayah juga berkata begitu, aku harus banyak berlatih agar bisa jadi pelukis hebat kelak.”

"Eung..kau pasti bisa" Timpal Marshall

Marshall memperhatikan Marcel dengan seksama disaat anak kecil itu tengah sibuk menggambar. "Di mana kamu bersekolah?” tanya Marshall dengan nada yang ramah, mencoba menjaga percakapan tetap ringan dan tidak mengganggu suasana hati Marcel.

Marcel menatapnya sejenak, seolah sedang berpikir. “Aku sekolah di SD Harapan, sekolah itu tidak terkenal dan jelek. Ayah bilang sekolah yang bagus hanya untuk orang yang punya banyak uang,” jawab Marcel dengan nada polos, tanpa menyadari betapa beratnya kata-katanya bagi orang dewasa di sekelilingnya.

Marshall merasa hatinya terhimpit mendengar jawaban Marcel. Seharusnya Marcel bisa mendapatkan yang terbaik, karena dia adalah putranya tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.

"Oh SD itu, paman tau” Marshall menjawab dengan suara lembut, berusaha menahan emosi yang hampir membuatnya terisak. “Meskipun tidak terkenal dan jelek, yang penting adalah kamu belajar dengan baik dan membanggakan ayahmu.”

Marcel mengangguk, tampaknya puas dengan tanggapan Marshall. “ayah juga selalu bilang begitu. Dia bilang yang penting adalah aku belajar dengan giat, bukan seberapa terkenal sekolahnya.”

Selama sisa waktu di toko kue, Marshall merasa hatinya bergejolak. Melihat Marcel yang penuh harapan dan Tian yang berjuang untuk memberikan yang terbaik dalam keadaan sulit membuatnya semakin sadar akan kesalahannya. Mulai sekarang dia harus melakukan lebih banyak untuk membantu mereka sebagai seorang ayah yang belum sempat melakukan apa-apa selama ini.

Ketika Marshall akhirnya bersiap untuk pulang ke rumah, Marcel melambaikan tangan padanya dengan ceria dan mengucapkan selamat tinggal kepada Marshall. “Terima kasih, Paman. Sampai jumpa lagi!”

Marshall membalas lambaian itu dengan senyum penuh kehangatan. Marshall juga tak lupa menoleh kearah Tian dan pamitan padanya.

Pemilik toko kue, seorang wanita beta yang bernama Alisya, tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan hal yang telah mengusiknya selama beberapa waktu. Dia telah memperhatikan Marshall dengan saksama, dan ada sesuatu yang tidak bisa dia abaikan. Wajah Marshall tampak begitu akrab baginya, dan setiap kali dia melihat Marcel, kesamaan antara keduanya semakin sulit diabaikan.

Alisya yang tengah berdiri disamping Tian  menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Tian bukankah mereka berdua sangat mirip?"

Tian terdiam, pikirannya berusaha keras untuk memahami implikasi dari apa yang baru saja didengarnya.

"Apa??… aku tidak terlalu memperhatikan mereka sebelumnya” suaranya hampir berbisik. Dia menatap ke arah meja tempat Marcel yang tengah duduk sambil menggambar, bayangan wajah anaknya yang penuh senyum dan ceria terlintas di benaknya. Kini, setelah mendengar apa yang dikatakan Alisya, dia mulai melihat kemiripan antara Marshall dan anak laki-lakinya.

"Miripkan?" tanya Alisya sekali lagi saat mendapati Tian yang tengah menatap anaknya

Tian dengan cepat mengelak, ia mengatakan bahwa di dunia ini diri kita memiliki 7 kembaran, mungkin hanya kebetulan saja anaknya bisa mirip dengan pelanggan yang bernama Marshall itu.

"Aku harap begitu" wanita itu meninggalkannya yang masih berdiri mematung untuk kembali bekerja.

Tian merenung dengan hatinya yang masih diliputi keraguan. "Tapi, bagaimana bisa kebetulan yang semirip ini?" batinnya berkata.

My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang