Bagian 11

9.8K 698 2
                                    

Bukannya kembali ke kelas untuk melakukan bersih-bersih, Tian malah kembali ke kamarnya. Entah apa yang ada di pikirannya, memang Marshall terlihat sangat tampan hari ini tapi harusnya ia tidak menatapnya begitu apalagi sampai ia tertangkap basah olehnya. Tian takut mungkin Marshall akan berpikiran yang aneh-aneh tentangnya.

Tian mengacak-acak rambutnya dengan kasar begitu mengingat kembali apa yang baru saja ia lakukan tadi.
"Benar-benar tidak tahu malu" Tian mengatainya dirinya sendiri

Tian merasa heran juga mengapa baru kali ini ia merasakan perasaan aneh seperti ini saat menatap seorang alpha. Tapi ia tidak mengerti perasaan aneh apa itu sebenarnya yang ia rasakan sekarang. Jantungnya serasa berdebar cepat, namun ia juga merasakan kegembiraan didalamnya.

Huf, daripada memikirkan itu lebih baik Tian mengemaskan barang-barangnya sebelum ayahnya datang menjemputnya. Ayahnya sudah berjanji dengannya akan datang menjemputnya pukul 12 siang, sedangkan sekarang sudah pukul 11.30, 30 menit itulah yang akan ia gunakan untuk mengemaskan barangnya dan masukkan kedalam kopernya.

Sepertinya libur kali ini akan lebih berat lagi bagi Tian dibandingkan libur saat ia masih SMP mengingat rankingnya yang benar-benar turun sangat mengenaskan. Ia tidak tahu apakah ayahnya sudah tahu atau belum tentang daftar peringkatnya, tapi sepertinya pihak sekolah pastinya sudah mengirim hasilnya di grup kelas khusus orang tua jadi lambat laun dia akan tahu juga. Jika bisa, sebenarnya dirinya sekarang benar-benar tidak ingin pulang kerumah.

Tian mengunci kembali lemari pribadinya begitu sudah mengosongkan beberapa pakaian yang ada didalamnya, ia juga tidak lupa untuk membawa obat-obatannya. Tian menarik kopernya dan bersiap untuk turun menunggu ayahnya.

Baru hendak ia memutar gagang pintu, tiba-tiba saja ada seseorang yang mendahuluinya. Tian mundur tiga langkah ke belakang begitu pintu terbuka. Tian refleks membuang muka saat mengetahui siapa yang muncul dihadapannya. Andai saja tadi ia keluar lebih cepat, mungkin sekarang dia tidak akan berpapasan dengan bajingan yang berhadapan dengannya sekarang.

"Minggir, aku mau lewat" perintah Tian pada Daven, namun orang itu tak kunjung bergeser dari hadapannya, Tian mengepalkan tangannya erat-erat setelah melihat Daven sepertinya pura-pura tidak mendengarkannya.

Tian ingin melewatinya namun Daven dengan sigap menghalangi jalan Tian dengan badannya yang sedikit lebih besar Tian. Tian sudah mencoba untuk menggeser dan mendorongnya, namun sedikit pun badannya tidak bergerak yang ada Tian sendiri yang merasa kelelahan dengan perbuatannya sendiri.

"Sudah main-mainnya?" tanya Daven pada Tian yang memutuskan menyerah untuk menyingkirkannya dari hadapannya.

"Main-main? apa dia tidak lihat aku sedang berjuang." batin Tian menggerutu

Daven menghampirinya, tiba-tiba ia menarik kerah baju Tian agar Tian lebih dekat dengannya. Tian tentu saja takut dengan apa yang dilakukan Daven sekarang, jantungnya berdetak hebat dan wajahnya pucat pasi takut akan kejadian kemarin terulang kembali. Sebaiknya ia jangan bertindak gegabah sekarang mengingat bagaimana temperamen bajingan yang tengah mencengkramnya sekarang.

"Kau berani mengabaikanku beberapa hari ini? apa kau sudah melupakan tentang rahasiamu?"

Dengan secepat kilat Tian menggeleng kepalanya, ia berbohong bahwa sebenarnya bukan dia ingin mengabaikannya namun ia belum siap untuk berhadapan dengan Daven mengingat hal buruk yang terjadi dengan mereka berdua beberapa hari yang lalu. Entah Daven akan mempercayainya atau tidak mengingat pemikiran pria itu sangat licik.

"Tidak siap? jadi kau tidak marah denganku setelah kejadian kemarin?"

Tian hendak menjawabnya, namun ia bingung kalimat apa yang cocok untuk ia katakan sekarang, jika ia salah bicara saja entah apa yang akan dilakukan Daven.

Ponsel Tian tiba-tiba berdering, entah dia harus berterima kasih atau tidak tapi dering ponselnya barusan benar-benar berhasil menyelamatkannya, sepertinya dewi fortuna bahkan memihak dirinya. Tian meminta izin kepada Daven untuk menjawab panggilan telepon dari ayahnya, mendengar itu Daven perlahan melepaskan cengkramannya pada kerah Tian.

"Ayah, tunggu sebentar aku akan turun segera."

"CEPAT!!" Suara yang sengaja ditinggikan dibalik teleponnya, Daven yang berdiri beberapa langkah darinya bahkan bisa mendengar suara ayahnya. Tian menghela nafasnya, dari suaranya saja sepertinya ayahnya benar-benar akan mengamuk kali ini. Dalam seumur hidupnya baru kali ini ia takut akan bertemu dengan ayahnya.

"Aku mau pergi dulu, ayahku sudah menunggu dibawah."

"Eung, hati-hati di jalan." ucapnya dengan nada suara yang lembut tanpa ia sadari, Daven sedikit terkejut dengan ucapannya barusan ia tidak menyangka dia akan mengucapkan kata-kata itu tanpa berpikir panjang dan ia merasa perkataannya barusan keluar begitu saja dari mulutnya tanpa ia inginkan. Tidak hanya Daven, Tian juga sedikit terkejut bukankah bajingan itu tiba-tiba bersikap sok peduli dan lembut padanya.

"Ah bukan begitu, maksudku beberapa hari ini banyak kecelakaan di jalan raya kemudian banyak korban meninggal ditempat, jadi sebaiknya kau berhati-hati jangan sampai kau jadi salah satunya di antara mereka." Tak terbiasa ia bersikap baik dengan Tian, Daven dengan segera mengubah kalimatnya. Menurutnya seperti inilah lebih baik untuknya, kasar dan tidak sopan sudah menjadi ciri khasnya jadi aneh aja dia tiba-tiba bersikap baik dengan Tian.

Apapun itu Tian tidak peduli, pada akhirnya ia hanya akan mendengar kata-kata buruk yang diucapkan oleh Daven untuknya, emangnya apa yang bisa ia harapkan dari Daven.
"Ucapan hati-hati? hah, menggelikan." meski tidak mengatai secara langsung, tapi batin Tian tidak berhenti mengocehkan tentang bajingan itu.

Tian hanya pura-pura tersenyum untuk menanggapi perkataannya, Tian tidak ingin membuang waktunya dan dia dengan segera beranjak pergi dari hadapan Daven.

Daven mengusap wajahnya dengan kasar begitu Tian meninggalkannya sendirian, apa yang sebenarnya baru ia lakukan, dia bahkan hampir memperlihatkan sisi lembutnya pada Tian beberapa menit yang lalu.
"Sialan, jangan sampai dia tahu perasaanku."



Tian mendekati mobil ayahnya yang sudah menunggunya di depan pagar asramanya, Tian sempat meminta maaf pada ayahnya karena telah membuatnya sedikit menunggu. Namun ayahnya tidak menanggapinya sama sekali, sepertinya ayahnya benar-benar kecewa padanya.

Di perjalanan, mereka berdua tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Namun, batin Tian tidak berhenti untuk mengoceh didalamnya. Ia terus-terusan berharap mereka akan segera tiba dirumah, karena suasana di dalam mobilnya terasa canggung dan dingin, mungkin penyebabnya adalah karena ayahnya yang mengabaikannya.


My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang