Side Story (1)

6.2K 417 5
                                    

Nungguin yaaaa😸...

Tian memarkirkan mobilnya di depan apartemen Marshall, ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Marshall, yang duduk di kursi penumpang, langsung bangkit dengan penuh semangat, meskipun masih ada sedikit goyah di langkahnya. "Hati-hati," Tian menegur lembut, tangan terulur untuk menstabilkan Marshall.

Begitu pintu apartemen terbuka, Marshall langsung menempel pada Tian seperti magnet. "Aku tidak bisa berjalan dengan benar," Tian berusaha tersenyum, tapi Marshall hanya mendengus pelan, tangannya masih erat melingkari lengan Tian.

"Biarkan aku sebentar lagi," Marshall berkata dengan nada manja, wajahnya nyaris menempel di bahu Tian. Tian menghela napas pelan, merasakan detak jantung Marshall yang tampak lebih cepat dari biasanya.

Saat mereka mencapai sofa di ruang tamu, Tian berusaha melepaskan diri untuk membantunya duduk. Tapi tangan Marshall segera menariknya kembali, seakan takut Tian akan menghilang jika ia melepaskannya meskipun hanya sedetik. "Marshall, aku harus mengambil air minum."

Marshall mendesah, tapi tetap melepaskan genggamannya, meskipun tatapan matanya seolah memohon Tian untuk cepat kembali. Tian pergi ke dapur, merasa aneh dengan perhatian berlebihan ini. "Seperti anak kecil," gumam Tian, setengah geli.

Namun, ketika ia kembali membawa segelas air, Marshall sudah bersandar di sofa dengan ekspresi puas seperti kucing yang baru saja mendapatkan perhatian. Begitu melihat Tian, tangan Marshall terulur lagi, seolah menuntut lebih. Tian hanya bisa menggelengkan kepala sambil memberikan gelas air.

Marshall menyesap airnya perlahan, mata tetap terpaku pada Tian. Saat Tian mencoba menjauh, Marshall kembali menarik lengannya. "Tian, tetaplah disisiku."

"Tidak bisa," jawab Tian setengah tertawa, meskipun dalam hatinya ia merasa risih dengan perilaku Marshall yang seperti anak-anak. "Aku harus membereskan barang-barangmu dulu."

Namun, Marshall tidak mau mendengar alasan apapun. Dia menarik Tian hingga akhirnya Tian duduk di sebelahnya, membuatnya mendekatkan diri lagi. Tian bisa merasakan panas tubuh Marshall yang menekan erat ke sisinya. "Marshall, kau terlalu lengket."

Marshall tertawa pelan, kepalanya menyandar di bahu Tian. "Aku hanya merindukanmu."

Kata-kata itu membuat Tian terdiam sejenak. Ia bisa merasakan gemuruh dalam hatinya. Ada bagian dari dirinya yang senang, tapi juga canggung dengan keintiman yang mendadak ini. Rasanya seolah Marshall tidak akan pernah melepaskannya.

Tian menggeser sedikit, mencoba menciptakan ruang di antara mereka, tapi Marshall malah mempererat pelukannya. "Aku tidak mau jauh-jauh darimu," bisik Marshall dengan nada kekanak-kanakan yang membuat Tian menghela napas lagi.

"Marshall, kau tahu aku di sini. Aku tidak akan pergi ke mana-mana," Tian mencoba meyakinkan dengan nada sabar, meskipun dalam hati ia sedikit kesal karena Marshall begitu sulit dilepaskan.

Namun, Marshall tampaknya tidak peduli. "Cukup 10 detik saja kau lepas dariku, dan rasanya seperti selamanya."

Tian menepuk kepala Marshall dengan lembut, berusaha mengalihkan perhatian dengan sedikit candaan. "Kau benar-benar seperti anak kecil."

"Aku ingin seperti ini selamanya," kata Marshall tanpa ragu, membuat Tian tertawa kecil meskipun perasaan risih masih menggelayut di hatinya. Ada sesuatu yang manis, tapi juga melelahkan dari perhatian Marshall yang tidak putus-putus ini.

"Aku harus ke kamar mandi," Tian mencoba melepaskan diri lagi, tapi Marshall dengan cepat memotongnya, mengeratkan pelukannya.

"Biar aku ikut," jawab Marshall seketika, tanpa berpikir panjang, yang membuat Tian menatapnya dengan tatapan geli dan sedikit tak percaya.

"Apa kau serius?" Tian bertanya, menahan tawanya, tapi Marshall mengangguk dengan wajah serius, seolah itu hal paling wajar di dunia.

Tian tertawa kecil, merasa gemas sekaligus bingung menghadapi sikap Marshall yang tak biasa ini. "Aku tidak percaya kau serius, Marshall. Biarkan aku punya ruang untuk bernapas, ya?" Ia dengan lembut menyingkirkan tangan Marshall dari lengannya dan berdiri.

Marshall merengut sedikit, tapi akhirnya melepaskan. "Baiklah, tapi jangan lama-lama," jawabnya dengan nada seolah mereka sedang bermain-main. Ia terus mengawasi Tian sampai hilang di balik pintu kamar mandi, lalu menarik napas panjang. Sepi. Tanpa Tian di dekatnya, rasanya ada kekosongan yang tak terjelaskan.

Sementara di dalam kamar mandi, Tian menatap bayangannya di cermin. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menenangkan pikirannya. Sikap Marshall yang mendadak manja seperti ini membuatnya risih, tapi di sisi lain, ada kehangatan yang tidak bisa diabaikan. “Apa yang terjadi dengannya?” Tian bertanya-tanya dalam hati.

Setelah beberapa menit, Tian keluar dan menemukan Marshall masih duduk di sofa, menunggu dengan sabar. Mata Marshall menyala saat Tian kembali, seolah tak bisa menyembunyikan rasa lega. "Akhirnya," Marshall berkomentar dengan senyum puas, membuat Tian hanya bisa menggeleng pelan.

"Yang aku butuhkan sekarang hanya kau," bisik Marshall sambil mengusap lembut punggung Tian. "Aku tidak peduli dengan hal lain."

Perlahan, Tian melepaskan diri dari pelukan Marshall dan berdiri. "Aku harus memasak sesuatu. Kau pasti lapar." Tian mencari-cari alasan untuk menjauh sejenak dari keintiman yang membingungkannya.

Namun, saat ia melangkah ke dapur, Marshall mengikuti dengan cepat. "Aku ikut. Aku ingin bersamamu."

Tian mendesah pelan. "Marshall, kau butuh istirahat. Duduklah di sofa, biar aku yang urus."

Marshall hanya menggeleng dan tetap berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan setiap gerakan Tian dengan mata penuh cinta.

Marcel berlari ke dalam dapur dengan tawa riang, rambutnya yang halus sedikit berantakan setelah bermain di luar. Wajahnya memerah akibat keceriaan yang baru saja ia rasakan. "Ayah!" serunya sambil menghampiri Tian yang masih sibuk di dapur. "Aku lapar!"

Tian tersenyum lembut melihat putranya. "Sabar, Marcel. Ayah sedang masak. Sebentar lagi siap."

Marcel menatap kompor dengan ekspresi penasaran, lalu beralih pada Marshall yang duduk di meja makan, masih memandang Tian dengan tatapan penuh. “Main sama Daddy dulu ya,” ujar Tian sambil mengusap kepala Marcel.

Marshall, yang selama ini hanya memperhatikan percakapan itu, tersenyum hangat. Ia berjalan mendekati Marcel dan berjongkok di hadapannya. "Marcel, sementara menunggu makanan, bagaimana kalau kita bermain sebentar di taman? Ada ayunan di sana, kau suka ayunan?"

Marcel mengangguk antusias. "Mau! Aku mau main ayunan!" katanya sambil menarik tangan Marshall, siap untuk pergi ke taman.

Tian menghela napas lega, merasa bersyukur bahwa Marshall ada di sana untuk membantu mengalihkan perhatian Marcel sementara ia menyelesaikan masakannya. "Jaga Marcel baik-baik, ya. Jangan terlalu jauh," kata Tian sambil melanjutkan persiapan makan malam.

"Jangan khawatir," jawab Marshall sambil melambai. "Kami hanya akan bermain di taman"

Di taman, Marshall membantu Marcel naik ke ayunan. Anak itu tertawa lepas saat Marshall mendorongnya dengan lembut, membuat ayunan bergerak maju mundur. "Lebih tinggi,Lebih tinggi" Marcel berseru dengan semangat, wajahnya dipenuhi kegembiraan.

Marshall tertawa kecil, menuruti permintaan Marcel. "Baiklah, tapi jangan terlalu tinggi, ya? Ayahmu tidak akan senang jika kau terbang terlalu jauh," jawab Marshall bercanda, meskipun hatinya terasa hangat melihat keceriaan Marcel.

"Lihat aku! daddy" seru Marcel tiba-tiba, melambai dari atas ayunan. Marshall tersenyum lebar dan melambai balik kearahnya.

Sementara itu, Tian yang tengah menyelesaikan masakannya sesekali ia melirik ke jendela, melihat Marshall dan Marcel bermain di taman. Sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa hangat dan penuh rasa syukur atas keluarga yang ia miliki sekarang.

Ia masih bertanya-tanya bolehkah dirinya merasakan hangatnya sebuah keluarga seperti yang saat ini ia rasakan.

My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang