Bagian 23

9.6K 745 21
                                    

Tujuh tahun berlalu dengan cepat, seolah-olah waktu hanya sekadar bisikan angin yang melewati kehidupan Marshall. Di usianya yang ke 25 tahun, dia kini duduk di kursi CEO, memimpin perusahaan yang dulunya dipimpin oleh ayahnya.

Langit-langit ruang kantornya tinggi dan dingin, tapi dia tak pernah merasa lebih terbebani oleh tanggung jawab yang menggantung di atasnya.

Selama tujuh tahun itu, Marshall telah berubah dari seorang pria muda yang penuh ambisi menjadi seorang pemimpin yang dihormati. Bukan hanya karena posisinya, tapi juga karena keputusan-keputusan bijaknya yang berhasil mengembangkan perusahaan ayahnya yang semula hanya perusahaan kelas tengah menjadi kelas atas. Dia selalu teringat akan ajaran ayahnya, "Perusahaan ini adalah keluarga. Perlakukan setiap keputusan seolah-olah menyangkut hidup dan mati mereka."

Namun, meski telah mencapai puncak karirnya, ada kekosongan yang tak bisa dia isi. Setiap malam, saat semua lampu di gedung sudah padam, Marshall sering duduk sendirian di ruang kantornya, menatap foto ayahnya yang tergantung di dinding. Ia teringat masa-masa di mana mereka berbincang tentang masa depan perusahaan ini, saat ayahnya masih hidup. Namun, tak ada lagi suara ayahnya yang menasihatinya, tak ada lagi tangan yang akan menepuk bahunya dengan hangat.

Marshall menyadari bahwa dia bukan hanya mewarisi perusahaan, tapi juga beban yang datang bersamanya. Semua keberhasilan yang dia raih datang dengan harga yang mahal, dan kini, dengan kekuasaan yang dia miliki, dia harus memastikan bahwa warisan ayahnya tetap hidup, bahkan jika itu berarti mengorbankan sebagian dari dirinya sendiri.

tok tok tok..
suara ketukan pintu dikala itu berhasil mengacaukan pikiran marshall yang sudah terbang begitu jauh.

"Sayang, kamu masih berkerja di jam segini? apakah kamu sudah melupakan hari ulang tahunku hari ini? kamu janji mau merayakannya bersamaku." Omega yang baru saja tiba itu tidak berhenti mengoceh didepan Marshall.

Bukannya merasa senang, Marshall malah merasakan yang sebaliknya saat melihat kedatangan kekasih kecilnya itu. Tangannya terangkat perlahan, memijit pelipisnya dengan tekanan yang semakin kuat seiring detak jantungnya yang tak menentu. Kepalanya terasa berat, seolah dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang berputar tak berujung.

Rasa lelah tak hanya menjalari tubuhnya, tetapi juga menembus jiwanya. Setiap hari adalah pertempuran baru, dan hari ini sepertinya lebih buruk dari sebelumnya. Angka-angka di laporan keuangan yang menumpuk di mejanya lah yang menambah berat beban yang sudah dipikulnya selama bertahun-tahun namun omega itu malah memperburuk keadaanya.

"Shion, ayo kita beli kuenya lalu pulang kerumah dan merayakannya." Marshall bangun dari kursinya dan mengambil kunci mobil yang tergeletak diatas mejanya.

Raut wajah Shion terpancar senyuman yang penuh dengan kebahagiaan, mereka berdua sudah pacaran selama 3 tahun namun baru kali ini baru pertama kalinya mereka merayakan ulang tahunnya secara langsung. Pasalnya baru beberapa bulan ini Shion kembali dari luar negeri setelah ia berhasil meluluskan kursusnya disana.

Marshall mengemudi dengan sangat perlahan atas permintaan Shion. Shion berkata padanya bahwa ia ingin menikmati indahnya malam hari di kota tempat asalnya itu.

"Ah ramai sekali" gumamnya pelan

Marshall menoleh kearahnya, ia melihat omega itu merasa senang hanya karena melihat orang-orang yang berlalu lalang. Mulai sekarang ia akan lebih  sering untuk membawanya keluar jalan-jalan dan menikmati malam seperti ini.

Marshall berhenti disebuah toko kue yang cukup terkenal dikotanya. Ia mengetahui toko itu berkat karyawannya yang merekomendasikan untuknya tadi sore. Ia sudah melakukan observasi dan ternyata rating toko kue itu cukup tinggi meskipun baru beberapa bulan toko kue itu dibangun.

Marshall dan Shion bergegas turun dan berjalan kearah pintu masuk. Saat memasuki toko kue itu, aroma manis vanila dan cokelat langsung menyambutnya. Suasana hangat toko yang kecil namun nyaman memberi sedikit kedamaian di tengah kepenatan harinya. Sambil menunggu pesanan kuenya disiapkan, Marshall mengamati sekeliling, memperhatikan pelanggan lain yang sedang memilih kue mereka masing-masing.

Di sudut toko, pandangannya terhenti pada seorang anak kecil yang sedang berdiri di depan rak kue bersama dengan seorang wanita yang tengah menyusun kue-kue keatas rak itu. Anak laki-laki itu bertingkah sangat menggemaskan berhasil membuat Marshall tersenyum samar. Namun, senyuman itu perlahan memudar ketika ia menyadari ada sesuatu yang aneh, anak laki-laki itu memiliki wajah yang begitu familiar. Rambut hitam pekat dan mata yang tajam, dengan raut wajah yang mengingatkannya pada seseorang yang sangat ia kenali yaitu dirinya sendiri.

Marshall merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, seolah-olah waktu tiba-tiba melambat. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari anak kecil itu. Wajah mereka begitu mirip, seakan cermin masa kecilnya sendiri yang terpantul di hadapannya. Anak laki-laki itu menoleh, dan untuk sesaat, mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka, sebuah pengakuan yang tak perlu kata-kata

Marshall merasa seakan dunia di sekelilingnya memudar, menyisakan hanya dia dan anak itu. Siapa anak itu? Bagaimana mungkin anak itu begitu mirip dengannya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya tanpa jawaban. Ketika anak itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya, Marshall tersentak dari lamunannya. Perasaan asing dan tak menentu menghantamnya, membuatnya merasa seolah terperangkap dalam mimpi yang tak bisa dijelaskan.

"Sayang, apa yang kamu lamunkan?" Shion merasa ada yang tidak beres saat melihat kekasihnya yang tiba-tiba terdiam dan mengabaikannya.

Marshall menggeleng dengan cepat dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Tidak ada apa-apa," jawabannya yang terdengar kurang meyakinkan untuk Shion.

"Huf, apa kamu tidak senang merayakan ulang tahunku hah?" ujar Shion dengan raut wajahnya yang cemberut.

Marshall panik, dengan cepat ia mengecup kening omega itu dan berusaha untuk menenangkannya.

"Maafkan aku.. " Marshall juga menjelaskan padanya ia bukan dengan sengaja mengabaikannya, namun ia hanya sedang tidak berada didalam mood yang baik karena beberapa hari ini pekerjaannya terus bertambah banyak.

Shion dengan cepat merubah raut wajahnya, ia tahu lebih dari siapapun bahwa kekasihnya itu sudah berkerja lebih keras dari siapapun di usianya yang begitu muda untuk menggantikan posisi ayahnya, terlebih lagi dirinya adalah anak tunggal dikeluarganya. Shion memakluminya dan ia tidak ingin memperburuk suasana hari ulang tahunnya.
"Baiklah aku maafkan.. tapi jangan abaikan aku lagi." Marshall mengangguk dengan cepat untuk menanggapi kekasih kecilnya itu.

Anak laki-laki tadi tiba-tiba datang menghampirinya, sambil memegang kue kecil di tangannya. "Paman, paman mau kue yang aku pilih? ini enak sekali karena ayahku yang membuatnya sendiri." tanyanya dengan suara ceria yang mengingatkan Marshall pada suara masa kecilnya sendiri. Dia terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dunia di sekitarnya tiba-tiba terasa asing, seolah waktu berhenti dan realitas mulai memudar.

Marshall menatap anak itu sekali lagi, seolah mencari jawaban yang tidak dapat ia temukan. Pertemuan singkat ini mengguncang dirinya lebih dari yang ia bayangkan.

"Marcel,, kembali kesini!! jika tidak mulai besok ayah tidak akan membawamu ikut kemari." panggil seseorang dari kejauhan dengan suaranya yang begitu lembut.

Anak laki-laki yang dipanggil Marcel itu berlari kecil menghampiri seseorang yang benar-benar tidak asing di mata Marshall. Ia tidak menyangka sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebetulan sedang terjadi, dan Marshall tahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi setelah malam ini.

malam ini upload lebih cepatt😎

My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang