Bagian 37

4.8K 391 1
                                    

Marshall tiba di bandara dengan napas yang tersengal, matanya mencari-cari di antara kerumunan orang yang berlalu lalang. Wajahnya pucat, hampir tak ada warna, dan perban di kepalanya yang sebelumnya tertata rapi kini mulai terbuka, memperlihatkan luka yang masih segar di bawahnya. Setiap langkah yang dia ambil terasa berat, tapi tekadnya jauh lebih kuat daripada rasa sakit yang menderanya.

Sekretarisnya, yang dengan susah payah berusaha untuk mengejar, mencoba menarik lengannya, berusaha menghentikannya dari tindakan yang mungkin dianggap gila. "Tuan Marshall, tolong! Anda tidak bisa seperti ini. Ini berbahaya! Luka Anda bisa bertambah parah!"

Namun, Marshall mengabaikannya. Dia menepis tangan sekretarisnya dengan kasar, air mata sudah mengalir deras di pipinya. "Aku tidak peduli! Mereka di sini, aku harus menemukannya. Aku tidak bisa kehilangannya lagi!"

Sekretarisnya tetap berusaha menghalangi langkah Marshall, takut kalau bosnya akan benar-benar kehilangan kendali. Namun, melihat betapa hancurnya Marshall, hati kecilnya ikut merasakan beban yang sama. "Tuan, mari kita pikirkan lagi. Kita bisa cari cara lain, mungkin mereka belum pergi... "

Namun, Marshall tidak mendengarkan. Dia terus berlari, menerobos orang-orang yang sedang menunggu, melewati keamanan tanpa mempedulikan apa pun. Baginya, hanya ada satu tujuan yaitu Tian dan Marcel. Di suatu tempat di bandara ini, keluarganya mungkin sedang bersiap-siap meninggalkannya untuk selamanya, dan dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Setiap wajah yang dia lihat terasa asing, setiap suara panggilan di pengeras suara terdengar seperti penghinaan. Dia hampir tidak bisa melihat jelas karena air mata yang kabur di matanya. Ketakutan dan penyesalan membanjiri pikirannya, membuatnya semakin putus asa.

"Aku mohon, Tian, jangan pergi...," bisiknya pada dirinya sendiri, hampir tak terdengar di antara hiruk-pikuk bandara.

Marshall akhirnya tiba di area keberangkatan internasional, dan di sana, di antara kerumunan orang yang sedang antri, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Wajah Tian terlihat begitu tenang, tapi ada kekhawatiran tersirat di balik matanya saat dia menggenggam tangan Marcel yang berdiri di sampingnya.

Hati Marshall seolah-olah berhenti berdetak. Dengan sisa tenaga yang ada, dia berteriak memanggil nama Tian, suara penuh dengan campuran emosi yang tak bisa lagi dia kendalikan. "Tian!"

Tian berbalik, matanya melebar saat melihat sosok Marshall yang berantakan dan terluka berlari ke arahnya. Semua orang di sekitar mereka tampak berhenti bergerak, seakan waktu membeku. Detik-detik itu terasa seperti selamanya saat pandangan mereka bertemu, menyiratkan rasa sakit dan kehilangan yang selama ini mengikat mereka.

Marshall jatuh berlutut di depan Tian, air mata terus mengalir. "Jangan pergi... kumohon... Jangan bawa Marcel dariku," suaranya bergetar, penuh dengan ketulusan yang menghancurkan hatinya sendiri.

Tian terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Marcel yang berdiri di sampingnya hanya bisa menatap bingung, tidak mengerti mengapa ‘paman’ yang dikenalnya itu tiba-tiba muncul dengan begitu hancur.

Marcel menatap Marshall yang berlutut di hadapan mereka, air mata yang berlinang di wajah pria itu membuat hatinya yang polos merasakan sesuatu yang tak biasa. Dia menarik tangan Tian dengan lembut, menatapnya dengan mata yang penuh harap dan polos. "Ayah, bawa Paman Marshall juga... Aku nggak mau dia sedih seperti itu"

Tian terdiam, hatinya bergemuruh mendengar permintaan putranya. Dia memandang Marcel, kemudian kembali ke Marshall yang masih terduduk di lantai, luka di kepalanya terlihat semakin parah, darah mengalir pelan di sekitar perban yang sudah tak rapi lagi. Ada kilatan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.

"Marcel," Tian berusaha tetap tenang, suaranya lembut tapi tegas. "Paman Marshall tidak bisa ikut. Kita harus pergi sekarang."

Namun, Marcel semakin erat menggenggam tangan Tian, wajahnya berubah serius, tidak seperti biasanya. "Tapi Paman Marshall sedang sedih ayah! Dia harus ikut, Ayah, biar Paman nggak sedih lagi."

Marshall yang mendengar ucapan Marcel terisak semakin kuat. Dia mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, menatap Tian dengan penuh permohonan. "Tian, aku mohon... Jangan pergi. Aku tahu aku terlambat menyadari semuanya, tapi aku ingin memperbaiki kesalahan. Aku ingin kita menjadi keluarga yang utuh... juga demi Marcel"

Marshall menggigit bibirnya, menahan sakit yang semakin mendera. "Aku tahu aku salah, Tian. Aku tahu aku tidak ada di sana ketika kau membutuhkanku. Tapi aku berjanji, mulai sekarang, aku akan ada. Aku akan menjadi ayah yang baik untuk Marcel, dan... alpha yang pantas untukmu, jika kau mau memberiku kesempatan."

"Aku akan memberimu kebahagian, rumah, harta dan apapun milikku, dan aku akan selalu mendukung apapun yang ingin kau lakukan.. aku mohon jangan pergi."

Tian merasakan hatinya terombang-ambing. Sebagian dari dirinya ingin mempercayai Marshall. Ia menatap putranya yang masih berdiri di sampingnya, wajah kecilnya penuh harapan. Tian menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari jawaban yang tepat.

Sebelum Tian sempat menjawab, Marcel berlari mendekat ke Marshall dan memeluknya dengan erat, seolah-olah dia tidak ingin melepaskannya. "Jangan sedih Paman. Aku mau kita pergi bersama, aku akan minta ayah untuk membawamu juga" bisiknya dengan suara kecil yang penuh ketulusan.

Marshall membalas pelukan itu dengan lembut, air matanya jatuh ke rambut Marcel. "Marcel, maafkan aku.. "

Alisya mendekati Tian dengan langkah pelan, matanya penuh empati saat dia menyaksikan Marshall yang masih duduk di lantai bandara, tersedu-sedu. Dia menarik Tian sedikit menjauh dari kerumunan, berbicara dengan suara rendah namun penuh kekuatan.

“Tian,” bisiknya lembut, “aku tahu ini sangat sulit bagimu. Tapi lihatlah, Marshall benar-benar hancur. "

Alisya menggenggam tangan Tian, matanya menatap penuh keyakinan. “Aku paham apa yang kau rasakan. Tapi coba pikirkan Marcel, putramu. Dia juga butuh keluarganya utuh. Dan, jujur, aku tidak tega melihat Marshall seperti ini. Dia benar-benar ingin memperbaiki semuanya.”

"Dan mungkin, jika kamu memberinya kesempatan, kamu juga bisa menemukan sedikit kebahagiaan di tengah semua kepedihan ini,” lanjut Alisya, suaranya penuh dengan kelembutan.

Tian menatap Marcel yang sedang memeluk Marshall, wajah putranya terlihat cerah dengan harapan dan kebahagiaan. Itu adalah pemandangan yang sangat berbeda dari saat mereka harus berjuang sendirian. Tekanan di hati Tian terasa semakin berat, tapi kata-kata Alisya membuatnya mempertimbangkan hal lain.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?” Tian bertanya dengan nada putus asa.

Alisya memberikan senyum lembut, matanya masih penuh dengan rasa sayang. “Cobalah untuk memberinya kesempatan. Buka hatimu, setidaknya kau harus memikirkan kebahagiaan Marcel." Dengan dorongan dari Alisya dan harapan baru yang tertanam di hatinya, Tian melangkahkan kakinya ke arah Marshall dan Marcel yang masih berpelukan.




My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang